Lara dan Alam Lain
Dia kembali mengundang Lara malam itu;
untuk duduk bersama menyesap secangkir air mata hangat.
Juga mengalir bersamanya setetes nila dari bejana jiwanya yang sekarat.
Cangkir, karpet, dinding, meja-kursi, semua lenyap bersama pekatnya sekitar yang berubah menjadi permadani biji kopi tanpa gravitasi.
"Apakah ini Andromeda?" tanyanya.
"Tidak. Bukan. Ini alam lain," desah Lara.
Tempat yang tak asing di mana ia pernah singgah sesekali;
untuk menyapa satu dua peony yang mekar.
Mahkotanya merekah hingga tiba-tiba daun-daun itu satu demi satu tersesat bersama pusara puting beliung.
Melenyapkan segala keindahan, segala kemuskilan.
"Yang tumbuh akan hilang lalu berganti," ujar Lara sebagai pemandu perjalanan.
Kehidupan ini pun persis.
Tak mesti jadi kontemplasi soal apa atau siapa yang tumbuh, yang hilang dan yang berganti.
Karena sebagian percaya bahwa cerita tentang hidup setelah mati tak ubahnya babak fiksi dengan akhir yang menyedihkan.
Lantas demi apa jiwanya lelah mengejar bahagia?
"Kau tahu, bahagia itu tak benar-benar nyata," singgung Lara.
Bahagia sejatinya adalah kompilasi babak kesedihan belaka, hanya saja tanpa air mata.
Tak ada tawa yang berderai tanpa air mata, bukan?
Pun kesedihan sejatinya merupakan kegembiraan yang haru
Tak ada yang benar-benar biru, begitupun langit yang terkadang berubah kelabu.
Segalanya tergantung dari caramu bersenandung menikmati biru atau larut menggelantung di antara kelabu
"Bagaimana bila yang tumbuh tidak hilang dan tidak berganti?" gumamnya.
"Sejatinya kau sedang mengarang babak fiksi yang lain."
Yang lahir adalah renungan yang tercipta bagi sang lenyap.
Abadi hanyalah ilusi yang tercipta di dalam kepalanya karena ketakutan akan akhir.
Ataukah itu merupakan bentuk lain dari raut kecewanya setelah asa dikoyak binasa?
"Katakan padaku, kita ini di mana?" tuntutnya.
"Kita sedang ada di dalam abadi itu. Di alam lain; alam bawah sadarmu," pungkas Lara lamat-lamat dari balik cangkir air matanya,
yang menyisakan pucat berikut ampas kenihilan yang mengendap.
Kediri, 21 Oktober 2019. 07:57 WIB
untuk duduk bersama menyesap secangkir air mata hangat.
Juga mengalir bersamanya setetes nila dari bejana jiwanya yang sekarat.
Cangkir, karpet, dinding, meja-kursi, semua lenyap bersama pekatnya sekitar yang berubah menjadi permadani biji kopi tanpa gravitasi.
"Apakah ini Andromeda?" tanyanya.
"Tidak. Bukan. Ini alam lain," desah Lara.
Tempat yang tak asing di mana ia pernah singgah sesekali;
untuk menyapa satu dua peony yang mekar.
Mahkotanya merekah hingga tiba-tiba daun-daun itu satu demi satu tersesat bersama pusara puting beliung.
Melenyapkan segala keindahan, segala kemuskilan.
"Yang tumbuh akan hilang lalu berganti," ujar Lara sebagai pemandu perjalanan.
Kehidupan ini pun persis.
Tak mesti jadi kontemplasi soal apa atau siapa yang tumbuh, yang hilang dan yang berganti.
Karena sebagian percaya bahwa cerita tentang hidup setelah mati tak ubahnya babak fiksi dengan akhir yang menyedihkan.
Lantas demi apa jiwanya lelah mengejar bahagia?
"Kau tahu, bahagia itu tak benar-benar nyata," singgung Lara.
Bahagia sejatinya adalah kompilasi babak kesedihan belaka, hanya saja tanpa air mata.
Tak ada tawa yang berderai tanpa air mata, bukan?
Pun kesedihan sejatinya merupakan kegembiraan yang haru
Tak ada yang benar-benar biru, begitupun langit yang terkadang berubah kelabu.
Segalanya tergantung dari caramu bersenandung menikmati biru atau larut menggelantung di antara kelabu
"Bagaimana bila yang tumbuh tidak hilang dan tidak berganti?" gumamnya.
"Sejatinya kau sedang mengarang babak fiksi yang lain."
Yang lahir adalah renungan yang tercipta bagi sang lenyap.
Abadi hanyalah ilusi yang tercipta di dalam kepalanya karena ketakutan akan akhir.
Ataukah itu merupakan bentuk lain dari raut kecewanya setelah asa dikoyak binasa?
"Katakan padaku, kita ini di mana?" tuntutnya.
"Kita sedang ada di dalam abadi itu. Di alam lain; alam bawah sadarmu," pungkas Lara lamat-lamat dari balik cangkir air matanya,
yang menyisakan pucat berikut ampas kenihilan yang mengendap.
Kediri, 21 Oktober 2019. 07:57 WIB
keren, Suhu..
BalasHapusAih makasih banyak Mbak Ezza :)
Hapusmantap nih kakak :)
BalasHapusTerima kasih kak untuk apresiasinya :)
HapusTak cukup cuma sekali baca buat benar-benar memahaminya. Menurutku makna tulisan ini dalam banget. Keren pokoknya!
BalasHapusSemoga memberi manfaat ya kak :) terima kasih sudah berkenan baca coretan ini...
HapusKeren tulisannya kakak 😍
BalasHapusTerima kasih kak :) untuk apresiasi dan kunjungannya..
HapusKeren sekali mbak Dymar
BalasHapusTerima kasih banyak kak :) semoga bermanfaat...
Hapus