Ada yang Pandai Berucap
Ada yang pandai berucap, tetapi kosong dalam berbuat.
Ada yang begitu bijak membagi petuah kepada rekan, tetapi diri sendiri luput dari siraman.
Lidah memang lembut, tetapi laksana belati; keras menusuk kala menyebut.
Menyebut saudaranya pendosa, masuk neraka, kenapa pula?
Lisanmu memang tak punya kepala, tetapi nuranimu kau buang entah ke mana. Astaga...
Karenanya jangan lengah dengan sesamamu yang tampak lembut di permukaan.
Siapa tahu dia sudah siapkan belati dari belakang. "Kejutan!"
Lalu adamu menjadi tiada.
Semoga engkau dan sesamamu segera diberi kesempatan merasakan sakit serupa mereka; para papa.
Supaya lidah lisanmu tak menjadi bumerang bagi piawaimu.
Bahasa diciptakan untuk memberi makan hati, bukan untuk menyakiti.
Namun entahlah jika engkau tak sejalan dengan ini.
Ketidaktahuan lisan dalam jemawanya petuah untuk rekan, adalah karena dirinya sedang tidak berada di level kepedihan yang sama dengan mereka yang dihakimi.
Sudut pandang si tukang ceramah masih soal dirinya sendiri.
Kacamatanya milik kuda, hingga tak peka melihat kanan dan kirinya yang begitu tersakiti oleh belati tutur katanya.
Pembenaran, lagi-lagi abstrak itu yang begitu diidamkan dan begitu ingin telinga dengarkan.
Orang-orang menggunakan bahasa bukan lagi sebagai pupuk katarsis, melainkan supaya sesamanya berkata, "Persis!".
Supaya orang lain mau mengiyakan segala yang tertutur.
Lantas semua itu demi apa?
Tiada keragaman yang murni diterima dengan lapang.
Begitu pula dengan kebenaran.
Tiada yang murni menerima kebenaran sebagai bentuk pembelajaran.
Ego yang serakah, belum kenyang menghabiskan jatah.
Pembenaran, lagi-lagi hanya itu yang ingin telinga dengar.
Pembenaran atas dasar ego semata.
Kita semua hanyalah sepotong fiksi yang Tuhan karang hingga miliaran alinea.
Yang mana buku-Nya selalu terbit sebagai best seller dan sold out tanpa pre-order.
Tetapi tak ada seorangpun yang ingin membeli masa lalunya.
Pun mereka takut membaca masa depannya.
Apalagi memesan masa depan di muka.
"Terima kasih, untukmu saja," katanya.
Tuhan Maha Mendengar segala gelenyar.
Tak butuh waktu lama hingga abrakadabra segala yang tercipta akan tiada.
Lenyap, muspra.
Menyisakan kompilasi penyesalan yang tiada kodanya.
Sekali saja; hanya jika Ia berkehendak, bimsalabim, lalu segalanya menyublim; lenyap ditelan udara.
Kediri, 18 Oktober 2019. 12:25 WIB.
Ada yang begitu bijak membagi petuah kepada rekan, tetapi diri sendiri luput dari siraman.
Lidah memang lembut, tetapi laksana belati; keras menusuk kala menyebut.
Menyebut saudaranya pendosa, masuk neraka, kenapa pula?
Lisanmu memang tak punya kepala, tetapi nuranimu kau buang entah ke mana. Astaga...
Karenanya jangan lengah dengan sesamamu yang tampak lembut di permukaan.
Siapa tahu dia sudah siapkan belati dari belakang. "Kejutan!"
Lalu adamu menjadi tiada.
Semoga engkau dan sesamamu segera diberi kesempatan merasakan sakit serupa mereka; para papa.
Supaya lidah lisanmu tak menjadi bumerang bagi piawaimu.
Bahasa diciptakan untuk memberi makan hati, bukan untuk menyakiti.
Namun entahlah jika engkau tak sejalan dengan ini.
Ketidaktahuan lisan dalam jemawanya petuah untuk rekan, adalah karena dirinya sedang tidak berada di level kepedihan yang sama dengan mereka yang dihakimi.
Sudut pandang si tukang ceramah masih soal dirinya sendiri.
Kacamatanya milik kuda, hingga tak peka melihat kanan dan kirinya yang begitu tersakiti oleh belati tutur katanya.
Pembenaran, lagi-lagi abstrak itu yang begitu diidamkan dan begitu ingin telinga dengarkan.
Orang-orang menggunakan bahasa bukan lagi sebagai pupuk katarsis, melainkan supaya sesamanya berkata, "Persis!".
Supaya orang lain mau mengiyakan segala yang tertutur.
Lantas semua itu demi apa?
Tiada keragaman yang murni diterima dengan lapang.
Begitu pula dengan kebenaran.
Tiada yang murni menerima kebenaran sebagai bentuk pembelajaran.
Ego yang serakah, belum kenyang menghabiskan jatah.
Pembenaran, lagi-lagi hanya itu yang ingin telinga dengar.
Pembenaran atas dasar ego semata.
Kita semua hanyalah sepotong fiksi yang Tuhan karang hingga miliaran alinea.
Yang mana buku-Nya selalu terbit sebagai best seller dan sold out tanpa pre-order.
Tetapi tak ada seorangpun yang ingin membeli masa lalunya.
Pun mereka takut membaca masa depannya.
Apalagi memesan masa depan di muka.
"Terima kasih, untukmu saja," katanya.
Tuhan Maha Mendengar segala gelenyar.
Tak butuh waktu lama hingga abrakadabra segala yang tercipta akan tiada.
Lenyap, muspra.
Menyisakan kompilasi penyesalan yang tiada kodanya.
Sekali saja; hanya jika Ia berkehendak, bimsalabim, lalu segalanya menyublim; lenyap ditelan udara.
Kediri, 18 Oktober 2019. 12:25 WIB.
Komentar
Posting Komentar