Hidup Mau Dibawa Ke Mana?
Bingung hidup mau dibawa ke mana?
Coba tanya ke diri sendiri:
1. Apa yang bakal paling kamu sesali kalo hidupmu berakhir hari ini?
Belum bisa membalas jasa-jasa orangtua,
belum bisa mengembalikan bakti ke mereka. Paling sedih lagi belum bisa liat
mereka hidup harmonis, karena selalu diwarnai sama konflik yang nggak berkesudahan.
Jujur gue capek liatnya. Tapi ya mau gimana? It’s my life tho. And God gave me this kind of blessings in a different
bend and I don’t want to waste my time just to complain all the blessings He
gave to me.
2. Seandainya orang-orang nggak bakal nge-judge dan berkomentar, apa yang bakal kamu lakukan secara berbeda?
Pengen tinggal di deket pantai, walau gue paham itu sangat beresiko banget. Pengen menghabiskan sisa hidup di sana, dengan menikmati ketenangan dan suasana yang damai setiap harinya. Mungkin nggak kalau tinggal sendirian. Karena gue benci sendirian tapi ironisnya nggak suka diganggu sama orang lain. Nggak perlu banyak orang sih, gue cuma butuh satu-dua orang yang bisa bener-bener gue percaya sebagai temen dalam rangka menghabiskan sisa hidup ini.
3. Hal apa yang membuat kamu senang bahkan ketika kamu nggak tahu alasannya?
Teaching, sketching, painting and daydreaming. Kenapa? Karena dengan melakukan semua hal itu gue bisa merasa lebih hidup, menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia. Bukan lagi menjadi pribadi atas hasil dikte orang-orang.
4. Apa kesulitan paling berarti yang sedang kamu alami saat ini?
Gue gampang kehilangan rasa percaya diri. Itu aja sih masalahnya. Seringkali menghadapi situasi di mana gue sangat menginginkan sesuatu, tapi lagi-lagi rasa percaya diri itu seolah menghambat jalan gue di depan, mengikatkan rantainya ke sekeliling kaki gue, sehingga gue nggak bisa ke mana-mana dan tetap di sini-sini aja. Nggak berkembang.
5. Apakah kamu masih berpegangan pada sesuatu yang seharusnya kamu lepaskan?
Masih. Seperti contoh gue masih berpura-pura betah bekerja di sekolah sebagai pustakawan, padahal bukan itu yang gue mau. Frankly speaking, I crave to be an English teacher. I love teaching. That’s what I want to spend the rest of my life with. Dan seharusnya pegangan ini udah gue lepaskan sejak lama, tapi ironis karena gue masih berpegang sama yang ini. Nanti kalo gue udah dapet ganti yang lebih baik, gue pasti melepaskan penderitaan ini, sooner or later.
6. Apakah hidup yang kamu jalani saat ini adalah kehidupan yang kamu inginkan ke depannya?
Bisa jadi iya. Bisa jadi nggak, sama sekali nggak. Kenapa?
Karena yang gue jalani saat sekarang adalah
hal yang berkebalikan dengan idealisme. Gue penganut idealisme yang taat. Dan
gue udah banyak menyakiti idealisme itu dengan bekerja sebagai sosok yang bukan
gue banget, gue nggak pengen mendedikasikan diri ke arah sana tapi masih aja
gue jalani. Karena apa? Karena zona nyaman itu sendiri. Dengan bekerja di instansi, gue merasa akan
aman dan baik-baik saja dan terjamin masa depannya. Padahal belum tentu juga.
Ironis banget karena gue merasa tertampar
dengan kata-kata seperti, “Kalo kamu pengen jadi sesuatu yang sangat ingin kamu
lekatkan pada dirimu, lakukan sesuatu yang akan membawamu menuju ke sana mulai
hari ini. Kalo kamu pengen jadi guru, ya habiskan waktumu untuk belajar caranya
menjadi guru, latihan mengajar, menyusun perangkat pembelajaran, memperdalam
ilmu yang menjadi bidangmu, dan lain-lain, bukan malah melakukan hal yang sama
sekali nggak ada hubungannya dengan apa yang ingin kamu raih. Kamu cuma buang-buang
waktu. You know that?” Dan ironisnya,
saat sekarang gue sedang mencoba membuang-buang waktu dengan menghabiskan waktu
gue yang berharga ini untuk bermain-main di dalam lingkaran yang sama sekali
nggak membawa gue selangkah lebih dekat dengan impian.
Oke, mungkin gue sekarang ada di zona
nyaman yang mana paling tidak gue udah bener dengan menekuni pekerjaan di
lingkup sekolah, walau belum menjadi guru. Sebagai pustakawan, gue merasa
dipenjara setiap harinya. Gue merasa nggak berkembang secara emosi maupun
secara intelektual. Gue adalah tipe orang yang haus pengetahuan dan ingin
mencerdaskan pikiran gue setiap hari. Walau kalian mungkin akan berpikir, “Jadi
pustakawan, kan, enak, kerjanya baca buku terus, jadi pinter, kan?” Kenyataan
di lapangan tidak seperti itu, my dear
friends. Apa yang kalian perkirakan, itu semua omong kosong. Persetan
dengan pekerjaan sebagai admin perpustakaan, karena gue akan tetap bersikukuh
dengan idealisme dan akan mengejar passion
itu sampai dapat. Karena gue hidup
untuk ngejar passion. Titik. I want to be an English lecturer or at least
an English teacher. Period.
Tapi ada satu thread yang baru-baru ini seolah menyadarkan gue, dalam artian
memberikan satu sudut pandang baru tentang hakikat mengejar passion. “Jangan bicara soal passion ke
orang-orang yang bekerja untuk bertahan hidup. Tidak menyerah saja sudah jadi
pencapaian tersendiri buat mereka.” Okay,
it’s fair enough to say it. Tapi sekali lagi, orang-orang itu punya tujuan
hidup yang lain, yang beda dengan gue. Mereka bekerja untuk bertahan hidup,
sementara gue bertahan hidup dengan bekerja sesuai passion. Benar, bisa dibilang gue ini adalah pengabdi passion, atau terserah aja lah mau
disebut gimana. I don’t give a damn. Gue
hanya perlu melakukan yang terbaik saat sekarang, sampai nanti passion itu kembali menyapa gue, dan
nggak akan pernah ninggalin gue lagi.
7. Apa lima hal yang paling berarti buat kamu dalam hidup?
Kesehatan, keharmonisan keluarga, diri sendiri, impian, rasa bahagia dan kenyamanan menjadi apapun yang gue inginkan.
8. Jika kamu bisa kembali ke masa lalu, penyesalan terbesar apakah yang ingin kamu perbaiki dan kenapa?
Banyak sih. Salah satunya nggak ingin menjadi pribadi yang menyetujui semua pendapat orang lain hanya karena gue malas meladeni omongan mereka, hanya karena gue pengen menjaga perasaan mereka, sementara mereka nggak bisa melakukan hal yang sama ke gue. Ironis, kan? Buat kalian yang suka mengiyakan omongan dan permintaan orang-orang, please stop it, otherwise you’ll regret what you did right now. Make yourself happy. Help yourself more. Skip anyone else, who put you in a dreadful situations.
Diperlukan kejujuran dan keberanian esktra untuk jujur sama
diri sendiri hingga kita bisa secara terbuka mengungkapkan kegelisahan yang ada
dalam batin, demi menjawab delapan pertanyaan di atas.
Kalau kalian gimana? Berani nggak jujur sama diri sendiri
dan coba jawab pertanyaan itu?
Coba tanyakan juga delapan pertanyaan ini ke diri kalian,
ya. Syukur-syukur pengen berbagi jawaban kalian di kolom komentar.
We only live once, but
opportunity will not come twice. So, if you want something, go get it.
Period.
Maaf Mbak nggak bisa baca sampai habis. Nggak tahan bacanyaaaa 😥
BalasHapusJangan dibaca malah. Ini cuma sampah... ha3x
Hapus