Genangan Air Selepas Hujan Lebat Siang Itu

Srash!

Satu ember air keruh bekas cuci pakaian —atau malah bekas cuci mobil— dimuntahkan begitu saja ke jalanan aspal perkampungan melalui pagar besi bercat putih rumah sederhana yang dilengkapi dengan garasi mobil. Pelakunya adalah seorang remaja laki-laki yang kira-kira saat itu berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Atas.

Separuh tubuhku basah kuyup dari ujung kerudung hingga ujung alas kaki. Aku benci jika sandal jepit yang kukenakan terkena sedikit percikan air, apalagi ini muntahan air dari ember yang notabene air keruh.

Kaki yang tidak kering rasanya benar-benar tidak nyaman. Seperti suasana hatiku saat itu yang seketika berubah keruh akibat diguyur seember air limbah cucian. Aku sudah lupa seperti apa aroma airnya.

Seingatku waktu itu aku tengah berjalan dengan damai —karena ban sepedaku kempis dan ayah gagal memompanya— menuju musala yang terletak di ujung gang. Seketika kuurungkan niatku sore itu untuk berangkat mengaji.

Sebagai gantinya, dengan kondisi busana muslim yang sudah tak karuan karena lepek, aku berlari pulang diiringi raungan tangis. Waktu itu usiaku menginjak delapan tahun. 

Aku masih ingat raut muka kakak remaja yang tadi tak sengaja menyiramku dengan air limbah cucian.

Rasa bersalah sekaligus keterkejutan serasa masih tergantung di sana ketika bibirnya tak sempat meloloskan kata maaf sesaat sebelum raungan tangisku bergaung di sepanjang jalan.

Sampai di rumah, ibu dan ayah menyambutku dengan sederet tanda tanya. Setelah aku berganti pakaian, ayah kembali berniat mengantarku dengan motor menuju musala tempat aku mengaji, namun aku sudah terlanjur memberengut karena sakit hati. Mukaku masam, sudah terlanjur hilang selera untuk menuntut ilmu tajwid sore itu.

Delapan belas tahun berlalu dan sekarang aku sudah menjadi pegawai Tata Usaha di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di kota domisiliku. Sudah berjalan hampir tiga tahun aku bekerja di sekolah.

Suka yang kualami lebih sedikit daripada duka. Pasalnya bekerja di instansi membuatku merasa terkekang. Aku lebih suka menghabiskan waktu seharian mengurung diri dalam kamar mengerjakan apa saja yang aku suka tanpa harus bertemu muka dengan banyak orang.

Aku memperoleh pekerjaan ini juga karena ayahku yang ngotot supaya anak semata wayangnya kelak bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebab dulu beliau tidak sempat mengecap kesempatan itu. Hingga kemudian tongkat estafet cita-cita dilungsurkan kepadaku. Bukankah aku sudah cukup bermurah hati menuruti keinginan orangtua? Tidak, kurasa aku sudah terlalu bermurah hati hingga menyebabkan tubuhku nyaris terjangkit gejala psikosomatik.

Aku tidak suka menjadi ‘tahanan kota’. Maksudku bekerja kantoran yang sama sekali tak memberiku asupan katarsis. Jiwaku perlahan mengering. Telah lama ia menjerit, merintih, minta dibebaskan, namun aku abai. Semua ini demi bakti, kilahku. Bakti yang dibungkus ironi.

Sore itu hari Senin. Aku pulang kerja dengan rasa lelah yang sama seperti hari-hari kemarin. Jalanan kota sore itu nyaris tak luput dari ribuan jejak genangan air akibat hujan lebat siang tadi. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalananku kembali ke rumah. Entah ada apa denganku sore itu hingga motorku melintasi jalan yang tidak biasanya aku lewati.

Aku memilih menerjang jalanan pasar dekat pabrik keretek daripada lewat jalan utama yang biasanya. Pikirku, aku ingin mampir ke suatu tempat dulu untuk membeli penganan hangat sebagai pelengkap santap malam. Paling tidak makanan berkuah hangat akan mampu menjadi pelipur lara selepas seharian menjadi ‘tahanan kota’.

Kulajukan motorku dengan kecepatan standar, 40 kilometer per jam. Setelah lampu merah pertama, sebuah mobil putih di depanku menurunkan kecepatannya hingga kemudian berhenti. Sejenis Calya atau mungkin Agya —atau baiklah, sebut saja Calya putih— entahlah aku tak begitu memperhatikan. Ada apa ini, menghalangi jalanku saja, batinku sedikit kesal.

Melihat Calya putih itu berhenti, aku pun ikut berhenti sambil sesekali mencuri pandang ke arah kaca spion. Melongok guna memastikan ada tidaknya celah jalan di depan Calya putih itu yang bisa kulewati agar motorku bisa kembali melaju.

Sungguh mengejutkan.

Ternyata penyebab mandeknya Calya putih itu adalah karena limpasan genangan air hujan yang nyaris memenuhi kedua sisi jalan aspal. Kira-kira ketinggian air mencapai mata kaki orang dewasa. Sepertinya belum sempat surut benar karena selokan di tepi jalan tak lagi berfungsi dengan semestinya.

Debit limpasan hujan tak terlalu tinggi namun cukup membuat pantofelku kuyup jika nantinya aku kehilangan keseimbangan dan dengan terpaksa menjejakkan kaki di genangan itu. Oh, tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Kau tahu, kan, aku benci jika alas kakiku terkena cipratan air barang sedikit saja.

Perlahan Calya putih pun melaju. Aku masih setia di belakangnya. Dari arah berlawanan kulihat ada Kijang hitam yang juga hendak melintas. Aku urungkan niatku untuk menyalip Calya putih. Jalanan terasa penuh sesak saat kedua mobil itu saling melintas berlawanan arah. Tak ada lagi celah yang bisa dilalui pengendara motor sepertiku.

Aku sudah was-was. Batinku berharap tidak akan terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan, seperti terkena percikan air dari genangan atau yang lebih buruk lagi entah apa misalnya. Tidak, jangan sampai demikian.

Setelah Kijang hitam dari arah berlawanan melintas, akhirnya aku menemukan celah untuk mendahului Calya putih di depanku. Aku masih mempertahankan jarum spidometer pada angka 20 kilometer per jam. Kendaraan yang melintas baik dari arah yang sama maupun dari arah berlawanan juga melakukan hal serupa. Melaju perlahan-lahan di tengah genangan air yang semakin ke utara debit limpasannya semakin melimpah ruah. Jalanan ini sudah mirip empang, tinggal diisi ikan-ikan saja.

Firasatku seperti sebuah doa yang dikabulkan Tuhan seketika itu juga. Tepat setelah itu tiba-tiba pengendara motor dari arah berlawanan melintas dengan kecepatan di atas standar yang mana kecepatan standar 40 kilometer per jam sekalipun sudah pasti dirasa cukup merugikan pengguna jalan yang lain jika keadaan jalanan sedang dipenuhi genangan air seperti ini. Dan yang terjadi, terjadilah!

Srash!

Mukaku —yang walau sudah kututup dengan kaca helm masih saja terkena—, punggung tangan dan separuh badan sebelah kanan tersiram telak oleh percik genangan air akibat ulah dari pengendara motor yang tadi melintas dengan kecepatan tinggi. Cipratan air itu tampak seperti siluet bening permadani terbang. Bapak atau Mas —terserah saja— tadi seperti tak peka saja dengan situasi.

Sudah tahu jalanannya seperti ini, kok masih saja berkendara dengan kecepatan tinggi yang notabene merugikan pengguna jalan yang lain, khususnya aku yang jelas-jelas terkena imbas dari kesembronoannya itu. Kuingin marah, memaki, melampiaskan kekesalanku kepada si tukang onar yang sudah menyebabkan wajahku tersiram air keruh bekas genangan hujan.

Andai kata aku ini laki-laki sudah pasti aku akan menantangnya berkelahi karena dia sudah berani mencari gara-gara denganku.

Akhirnya kuputuskan pulang saja, tak jadi membeli penganan hangat. Aku sudah terlanjur hilang selera karena jengkel. Rasa dongkol yang sama seperti ketika aku terkena siraman air limbah cucian delapan belas tahun yang lalu.

Pelaku penyiraman pun lagi-lagi berjenis kelamin sama, laki-laki juga. Ada apa dengan perputaran waktu hingga aku bisa mengalami hal serupa untuk kali kedua?

Esoknya hujan lebat kembali mengguyur. Aku pulang kerja seperti biasa, lagi-lagi ditemani gunungan rasa lelah yang sama. Monoton. Aku sedang tak ingin mampir ke mana-mana sore itu. Bahkan kepikiran untuk membeli sesuatu pun tidak.

Hanya satu yang ada di benakku, bergegas pulang. Titik.

Kulewati jalan utama tanpa firasat apa-apa. Berkendara sepatutnya, mematuhi semua peraturan lalu lintas bahkan berhenti ketika rombongan semut tengah melintas. Ah, tidak, mungkin yang barusan terlalu dilebih-lebihkan.

Aku berhenti karena memang saat itu lampu lalu lintas masih menyala merah dan kebetulan saja ada rombongan semut yang tengah melintas di sana. Tuhan Maha Pengasih.

Kembali kulajukan motorku sesaat setelah lampu lalu lintas berganti hijau. Aspal di jalan utama masih basah akibat guyuran hujan tadi siang. Terlihat begitu pekat seperti aspal yang masih baru.

Sore itu aku menikmati aroma petrikor yang menguar di udara ditemani nuansa langit mendung di ufuk barat. Sekilas, jalan utama memang terlihat mulus, namun entah mengapa permukaannya agak bergelombang.

Sempat pula kudapati permukaan jalan yang berlubang. Letaknya di tengah agak pinggir sebelah kiri. Persis di depan mataku. Kira-kira dua detik lagi aku resmi melintasinya.

Srash!

Tiba-tiba Jeep merah menyalip tepat ketika aku sampai di sisi kiri jalan yang berlubang itu. Kubangannya cukup lebar dan lagi penuh dengan genangan air hujan. Keruhnya mengingatkanku pada secangkir kopi susu, cappuccino, café latte atau mungkin juga flat white yang diaduk jadi satu.

Rasanya cukup aneh ketika percikan air keruh tadi mengenai bibir dalamku. Mirip espresso yang dicampur dengan serbuk tanah liat. Menjijikkan.

Jeep merah itu sudah jauh. Mengabaikan penderitaan pengendara motor sepertiku yang sudah dirugikan karena ban mobilnya —dengan sangat tidak berdosa— melindas kubangan air keruh dengan kecepatan di atas 40 kilometer per jam hingga aku tak sempat memastikan jenis kelamin dari si pengemudi. Tak ada rasa bersalah sedikitpun.

Sementara aku, sebagai pengendara motor paling sial yang terlalu patuh dengan tata tertib berlalu lintas; terlalu menepi di lajur kiri ketika berkendara, tak lagi mampu berkata-kata.

Sial betul hari-hariku.

Kesialan ini seolah beruntun serupa efek domino. Seorang makan nangka, semua kena getahnya. Tak ikut makan nangka, tetapi ikut terkena pulutnya. Tak ikut menaruh genangan air keruh di atas kubangan jalan, tetapi ikut terkena imbasnya. Sungguh menyebalkan. Sudah cukup, semoga ini kesialan yang terakhir. Aku tak mau lagi berurusan dengan genangan air selepas hujan lebat pada sore-sore berikutnya.


(selesai)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori