Dengarkan Aku! Karena Aku Adalah...

Aku membangunkanmu setelah berkata, "Cukup!"

Perlahan kelopak matamu membuka. Menyesuaikan cahaya lampu ruangan ini. Kamarmu. Napasmu tak beraturan. Kau terengah. Jantungmu bekerja terlalu cepat. Bulir-bulir keringat dingin membasahi pelipismu.

"Kau baik-baik saja?" aku bersuara.

Tak ada tanggapan darimu. Kau terduduk seraya menjangkau ponsel di meja sebelah ranjang.

"Jam dua belas lebih. Ya ampun.." bisa ku dengar kau menggumam.

Aku membiarkanmu menenangkan diri dalam hening. Tepat tengah malam. Selalu begitu. Selalu aku membangunkanmu pada jam sekian. Sebelum kau jadi gila karena ulah mimpi burukmu sendiri.

Sungguh, aku tak bermaksud buruk. Aku hanya mencoba memberitahumu sebuah firasat melalui mimpi. Sejak kau masih kecil, aku telah terlatih untuk ini. Yakni mendampingimu memecahkan rahasia mimpi. Bahkan mimpi terburukmu sekalipun.

Mimpi tak hanya semata-mata sebagai bunga tidur. Terkadang mimpi merupakan pertanda akan sesuatu yang akan segera terjadi. Begitulah aku selalu menasehatimu. Namun sepertinya kau mengabaikanku. Baiklah, terserah. Aku tak terlalu peduli.

***

"Dy, kok lesu? Lu sakit?" sapa salah satu teman sekantormu.

"Ah, nggak Le. Gue cuma kurang tidur aja." jawabmu dengan wajah kuyu dan suara yang memberat.

"Pak Leo, anda sedang ditunggu klien di lobby." teriak seorang wanita paruh baya.

"Oke kalo gitu gue ke bawah dulu, Dy." laki-laki bernama Leo tadi segera meraih berkas lalu bergegas pergi.

Kau melanjutkan aktifitasmu di depan layar laptop. Aku pusing melihat apa yang sedang kau kerjakan. Angka-angka, grafik, serta kertas-kertas yang menumpuk di samping laptopmu, argh.. terserah. Aku tak mengerti semua itu. Namun aku merasakan sesuatu. Tiba-tiba firasat baik bercampur buruk menghambur padaku begitu saja. Aku mencoba memberitahumu. Tapi seperti biasa, kau mengabaikanku. Tidak bisakah kau mendengarkanku kali ini saja?

Hari telah berganti siang. Suasana di dalam bangunan ini dipenuhi dengan para pegawai yang berlalu lalang menuju ruangan yang biasa mereka gunakan untuk mengisi perut mereka. Istilah yang biasa kau gunakan adalah "makan siang". Baiklah, aku masih tak habis pikir mengapa kau menyebutnya demikian. Padahal yang kau makan adalah makanan; seperti butir-butir harum berwarna putih dengan dampingan aneka olahan hasil laut, ternak serta tanaman sehat yang berasal dari persawahan, dan bukannya "siang". Ah, sudahlah. Tapi tunggu, aura aneh yang aku bicarakan tadi semakin kuat sekarang. Sepertinya sebentar lagi akan ada yang mengajakmu untuk membicarakan sesuatu. Empat mata. Hm, sepertinya cukup serius dan penting.

Sebuah benda persegi di meja kerjamu menyala. Mengeluarkan bunyi dering nada kesukaanmu. Alunan gitar klasik berpadu dengan biola. Ekor matamu menangkap sebaris tulisan nama orang di sana. Segera saja kau sambar benda persegi itu. Kau menyebutnya smartphone.

"Halo, assalamu'alaikum?"

"Pak Oddy, bisa ke ruangan saya sebentar?" kata suara pria paruh baya dari seberang.

"Baik, Pak."

Sudah ku duga kau pasti terkejut setelah mendengar penuturan bosmu barusan. Bagaimana tidak? Atasanmu tengah mempromosikanmu untuk jabatan yang lebih tinggi. Jabatan yang akan menambah profit jangka panjang dan lebih menjamin karirmu ke depan. Tapi tunggu, apa benar begitu?

"Jadi bagaimana, Dy? Apa kamu bersedia mengampu jabatan ini?"

***

Burung besi raksasa telah membawamu sampai ke tanah ini. Tanah yang baru. Lingkungan kerja dan pergaulan yang baru. Bandara siang itu terasa begitu terik.

"Iya ini gue barusan sampai. Sori nggak bisa angkat telfon di dalam pesawat." kau berbicara dengan layar smartphone-mu yang menampilkan wajah si penelepon di seberang sana.

"Ya ampun Oddy, gila. Hebat lu emang. Masih muda dan baru kerja beberapa bulan, udah dipercaya pegang jabatan supervisor. Kok bisa sih? Coba cerita." temanmu Leo itu terlihat begitu antusias.

"Kan kemaren-kemaren gue udah cerita, Le. Lagipula ini cuman sementara kok." kau menjawab sekenanya karena masih harus berurusan dengan kopor di bagian pemeriksaan barang.

Terdengar gumaman tawa Leo di layar.

"Jadi berapa lama lu di sana?"

"Sampai dua bulan ke depan."

"Wah, pasti si Fany bakal rindu berat tuh." goda Leo disertai gelak tawa.

Tunggu, aku mulai merasakan sesuatu yang buruk namun tidak terlalu buruk rasanya.

"Fany? Amit-amit. Sembarangan lu kalo ngomong. Ya sudah, gue tutup dulu ya. Nanti kita sambung lagi."

"Yaudah, jangan lupa kabarin si Fany ya." Leo masih menggodamu di sela-sela tawa. Kau pun hanya mengiyakan saja karena sudah begitu lelah sembari berucap akan menutup sambungan teleponnya. Tapi kemudian...

"Eh bentar, Dy."

"Apa lagi?" suaramu terdengar berat dan lelah.

"Gue mau ngomong sesuatu ke lu. Penting. Makanya gue tadi langsung nelfon lu begitu lu nyampek bandara. Ini demi kebaikan lu juga."

"Oh yaudah ngomong aja. Soal apa?"

Leo mulai menjelaskan sesuatu hal yang ingin ia sampaikan padamu. Dahimu sesekali mengernyit. Seperti tengah berpikir keras. Aku sudah mengetahui arah pembicaraan Leo. Rupanya firasat ini yang aku rasakan kemarin. Aku mencoba memperingatkanmu sekali lagi. Namun sungguh mengherankan bahwa kau mulai sedikit mau mendengarkanku kali ini.

***

Sepotong ingatan tentang mimpimu beberapa hari yang lalu, kini kembali terpatri dalam benakmu. Kau mulai memikirkannya kembali. Aku bisa merasakan saat ini kau tengah membayangkan sebuah sofa. Sofa yang berapa kali pun kau memindahkannya, sofa itu tetap akan kembali lagi ke tempatnya semula. Seperti tidak mau berpindah. Keras kepala. Leo menasihatimu untuk berhati-hati dan selalu waspada dalam menjalankan tugas ini.

Pasti apa yang Leo bicarakan tadi siang ada hubungannya dengan mimpi itu. Sudah ku bilang kan padamu bahwa mimpi itu petanda buruk dan kau harus berhati-hati. Langit-langit kamar kosmu rasanya mulai terlihat buram. Dan akhirnya kau jatuh tertidur.

Dua minggu berlalu begitu saja. Rutinitas yang kau jalani memang sejauh ini lancar-lancar saja. Bahkan bisa dibilang bahwa kinerjamu sangat mengesankan. Hari ini pun sama. Rutinitas yang kembali berulang.

"Mas Oddy, ada tamu yang ingin bertemu dengan anda." tiba-tiba salah satu anak buahmu tergopoh-gopoh berlari menghampiri.

"Siapa?"

***

Seorang wanita dengan kacamata Rayban hitam yang kira-kira seusia denganmu menyodorkan tangan kanannya. "Perkenalkan, saya Grace. Adiknya Pak Gusta."

Dari penampilannya, terlihat sekali bahwa wanita ini adalah penggila fashion terbaru. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, benda-benda mewah menempel di tiap sisi bagian tubuhnya.

Kau membalas uluran tangan wanita itu. Sekilas bisa kau tangkap kilatan sinis di mata wanita itu. Seperti pandangan remeh. "Saya Oddy. Supervisor bagian inovasi dan menejemen produk."

Wanita itu kemudian melepas kacamatanya. "Oh, jadi kamu yang menggantikan Kak Ferdy untuk sementara?" nada bicara wanita itu membuatku bergidik.

"Betul, Bu."

"Bu? Gue belum jadi ibu-ibu. Panggil aja Grace. Kita seumuran kok." tak muncul segaris senyum sedikitpun dari raut muka wanita itu.

Kau hanya bisa tersenyum canggung.

"Ada hal penting yang pengen gue bicarakan dengan kamu. Gue tunggu di Java Cafe pas jam makan siang nanti." tanpa ba-bi-bu wanita itu langsung berbalik pergi.

Jadi, wanita ini yang Pak Gusta maksud. Seketika ingatanmu tentang pembicaraan hari itu kembali terulang.

"Tolong uruslah semuanya selama dua bulan ke depan. Karena Ferdy sedang ada urusan bisnis di luar negeri. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Aku sudah meminta adik bungsuku untuk membantumu selama di sana. Dia orangnya cukup fair kok, tapi kurang bisa memenej pekerjaannya. Aku berharap kamu bisa menjalin kerjasama yang baik dengan dia nantinya."

Dan soal pembicaraanmu dengan Leo, membuatmu merasa seperti menemukan benang merah.

"Lu kudu ati-ati. Kayaknya Pak Gusta pengen jodohin lu sama adik bungsunya deh. Gue denger desas-desus itu udah nyebar di seantero kantor. Gosipnya sih gitu. Jadi beliau ngirim lu ke luar kota dan ngasih lu jabatan sementara cuma sebagai kamuflase aja. Intinya, Pak Gusta itu pengen lu jadi calon suami adiknya."

Sejenak kau terdiam dalam renung. Selama ini aku mencoba memperingatkanmu untuk tidak sembarangan masuk dalam perangkap atasanmu. Tapi kau tak mau mempercayaiku. Kau selalu mengabaikanku. Tapi aku sedikit senang sekarang karena kau mulai lebih banyak mendengarkanku ketimbang dulu. Kau mulai mengakui keberadaanku. Maka mulai sekarang rajin-rajinlah mendengarkanku. Dengarkan aku. Karena aku adalah...

Intuisimu.

***
Bersambung?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori