Pekatku

Haruskah ku berlari?
Jauh.
Menepi.
Terseok.
Jatuh tersungkur.

Haruskah ku meratapi?
Keluh.
Maki.
Onak duri.
Cekat napas.
Menyiksa diri.

Haruskah ku membisu?
Menghalau sedih, tak semudah menghapus buih.
Menghalau hitam, tak semudah menguras air kolam.
Mengapa segala hal begitu rumit?
Pekatku kembali mengadu.

Salahkah ku hidup?
Bertahan, terseok diantara duri maki dan ironi.
Kenapa aku hidup?
Menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Begitukah sejatinya inti kehidupanku?
Asal engkau tahu, aku bukanlah makhluk fotosintesis.
Aku makhluk genetis.

Pekatku menjerit.
Sekali, dua kali, hingga seribu kali.
Namun mereka semua tuli.

Salahkah aku tinggal?
Sejatinya tempat apa ini?
Semua penghuninya bungkam.
Tak mampu menjabarkan abstrak itu.

Kenapa harus ada hal ini?
Kenapa harus ada hal itu?
Mengapa harus terjadi hal ini?
Mengapa harus terjadi hal itu?
Aku tak ingin begini, pun juga tak ingin begitu.
Sejatinya apa mauku?

Haruskah ku bertahan?
Dengan napas nyaris putus.
Dengan segaris lengkung kebahagiaan palsu.
Dengan seutas asa yang menggantung layu.
Dengan selimut hitam yang membungkus kelamku.
Sekali lagi pekatku mengadu.

Sejatinya apa yang mereka cari di sini?
Butiran debu kepedihan?
Segenggam harapan tanpa belas kasihan?
Atau segudang emas permata dan perhiasan?

Mereka sejatinya buta.
Mata mereka mampu melihat.
Namun hati mereka pekat.
Tertutup ilalang hitam.

Mereka sejatinya hilang.
Raga mereka berdiam.
Namun jiwa mereka berkelana melanglang.
Bungkam, pekatku meradang.

Pekatku berbisik.
Dimanakah kasih bersembunyi?
Pekatku menangis.
Kemanakah kasih pergi?
Pekatku menuntut.
Kapan kasih akan kembali?
Pekatku menjerit.
Kasih, buka topengmu!

Pekatku tertatih...

***

Ditulis oleh: Dymar Mahafa

#TugasMateri10
#KelasFiksi
#OneDayOnePost

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain