Gaya Menulis
Cuplikan R.I.P (Rest In Promise) chapter 14.
Oleh: Dymar Mahafa
Oleh: Dymar Mahafa
***
“Kenapa
nggak masuk? Masih musuhan sama Yudhis?” tanya Restia. Mereka berdua kini
tengah duduk di bangku koridor rumah sakit yang agak jauh dari kamar Yudhis.
“Sudah
ada Arum Mbak di dalam.” jawab Juna.
“Memangnya
kenapa? Bukannya kalian bertiga akrab?”
“Aku
nggak bisa ganggu hubungan mereka sekarang.”
“Ah,
begitu rupanya. Jadi, kamu belum mengaku ya di depan dia?” Restia tergelak.
“Maksud
Mbak mengakui apa?”
“Ya,
mengakui keduanya. Pertama, mengakui bahwa kamu adalah teman masa kecilnya.
Kedua, mengakui bahwa kamu mencintainya. Benar, kan?”
Juna
diam saja.
“Sudah
ku duga. Tebakanku memang nggak pernah meleset.”
“J-jadi…
Mbak Rere tadi cuma nebak?” Juna menatap nanar pada dokter muda di sebelahnya.
Ia merasa sudah dipermainkan. Juna mendesah kecewa. Ia malu perasaannya
terbongkar dengan nista seperti ini.
Restia
tergelak. Ia tertawa lepas.
“Kenapa?
Mbak yakin bukan Yudhis penyebabnya.” tuduh Restia.
“G-gimana
Mbak bisa…”
“Tahu?”
Restia melanjutkan. Ia menoyor bahu Juna pelan. “Kamu ini polos banget sih.
Seenggaknya tutupi ekspresimu itu, supaya aku nggak bisa menebak apa yang ada
di pikiranmu sekarang.” gelaknya.
“Wah,
wah, Mbak mendingan alih profesi gih. Jadi peramal atau journalist gitu.”
“Mentalist?” ralat Restia.
“Ya,
apapun lah itu.”
Restia
kembali menoyor bahu Juna.
“Nggak
deh. Terima kasih atas tawaranmu. Profesi dokter lebih menjanjikan ketimbang
jadi journalist.”
“Mentalist?” ralat Juna.
“Ya,
apapun lah itu.”
Juna
menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak habis pikir kenapa orang sejayus Restia
bisa jadi dokter. Tapi bukan itu yang harus ia ributkan sekarang. Ia kembali
menghela nafas berat.
“Yang
jelas, kamu kudu harus wajib mengakui
perasaanmu ke Arum sekarang juga. Sebelum semua terlambat dan kesempatanmu
hilang begitu saja.” lanjut Restia.
“Dan…
sudah.” jawab Juna pasrah. Ia tertunduk lesu.
“Sekarang
memang sudah terlambat, Mbak. Dan kesempatanku udah lenyap nggak tersisa.” Juna
terlihat sangat putus asa. Ia menghela nafas lebih berat dari sebelumnya.
Restia
mengernyit. Ia tidak mengerti maksud ucapan Juna.
“Aku
akan segera menikah.” akunya kemudian.
“Apa?”
Restia terbelalak. “Menikah?”
“Maksudmu,
kamu mau menikah dengan Arum?”
“Bukan.
Aku sudah dijodohkan dengan anak gadis teman Ayah angkatku.”
“Gimana
bisa?”
Restia
nyaris tertipu. Namun ketika Juna terlihat berterus terang seperti itu, ia
yakin bahwa Juna sedang tidak sedang bercanda saat ini. Tapi tetap saja berita
tadi membuatnya nyaris menjerit keheranan.
“Ceritanya
panjang, Mbak.” Juna mendesah lelah. Ia sedang malas membahas masalah perjodohannya.
“Pendekin
dong.” canda Restia.
“Please, Mbak. Aku lagi nggak mood bercanda.”
“Oke,
oke. Sorry.” kata Restia menyerah. “Terus?
Apa langkahmu selanjutnya? Apa kamu mau mengakui ke Arum kalau kamu mau nikah,
gitu?”
Juna
mengangguk. Ia menjentikkan jarinya. “Ku rasa itu ide yang bagus.”
“Kamu
gila, Jun.” sembur Restia. Raut mukanya seketika berubah datar.
“Yah,
kadang cinta memang bisa bikin orang waras jadi gila. Dan orang gila jadi waras.”
Juna melantur.
“Dan
kamu termasuk yang pertama?” sindir Restia. Mencoba mengikuti arah pembicaraan
Juna yang semakin melantur.
“Nggak.
Aku termasuk yang kedua.” tegasnya.
“Sekarang
aku sadar, kalau kita sangat menginginkan sesuatu di dunia ini, kita harus
meminta ijin terlebih dulu kepada Sang Pemilik dunia ini. Jika Sang Pemilik
tidak mengijinkannya, maka sebisa mungkin kita harus menghindari hal itu.
Karena memang bukan itu yang kita butuhkan.
Dan
itu artinya Sang Pemilik menyuruh kita untuk menempuh jalan yang lain. Akan
selalu ada harga yang harus dibayar ketika kita menempuh jalan itu, yaitu
sesuatu yang harus dikorbankan. Anggap saja kami berdua tidak berjodoh. Dan
Tuhan tidak mengijinkan kami untuk bersama.”
“Jadi
kamu memilih mengorbankan perasaanmu sendiri demi menikah dengan gadis yang
sama sekali nggak kamu kenal, begitu?”
“Bukan
memilih. Aku udah nggak punya pilihan. Aku sedang menaati perintah Tuhan
sekarang ini.” ujar Juna. Ia tertunduk lesu.
“Tidakkah
kamu berpikir bahwa kamu sudah salah mengartikan maksud Tuhan?”
“Maksud
Mbak?”
“Apa
kamu yakin setelah menjalani apa yang kamu sebut dengan ‘perintah Tuhan’ tadi,
hidupmu akan bahagia?”
“Ya,
aku yakin.”
“Gimana
kamu bisa seyakin itu sehubungan kamu sendiri belum pernah menjalani?”
“Mudah
saja mengetahuinya. Jika keluargaku bahagia atas pernikahanku, maka itu artinya
semua akan baik-baik saja. Dan dari situlah kata ‘bahagia’ bisa melekat pada
diriku. Karena restu Tuhan berasal dari restu orangtua.”
“Pemikiranmu
bener-bener udah dewasa sekarang. Mbak salut sama kamu.” Restia menepuk bahu
Juna.
Juna
bergeming. Kepalanya tetap tertunduk. Pandangannya kosong.
“Aku
mencoba merenungi semua itu selama bertahun-tahun, setelah kematian ibuku. Mbak
Rere pasti jauh lebih tahu tentang penyakit ibuku daripada aku.”
Restia
terdiam. Ia terus mendengarkan.
“Aku
menyadari keegoisanku dulu yang berakhir sia-sia. Aku terlalu berharap untuk
meraih apa yang tidak Tuhan ijinkan aku untuk memilikinya. Impian untuk menjadi
seorang komikus. Namun, aku memaksakan hal itu demi mendapat pengakuan semu
dari orang lain yang bahkan tidak aku kenal. Dan mengabaikan orang yang selama
ini sudah membesarkan aku. Aku mengabaikan ibuku. Bahkan, aku nggak menyadari
kalau ibu sedang sakit. Aku memang bodoh. Ini semua salahku.”
“Cukup,
Jun. Sudah cukup. Jangan teruskan.” cegah Restia. Suaranya tercekat. Matanya
mulai berkaca-kaca ketika dirinya harus kembali mengingat kejadian tragis dua
tahun yang lalu.
“Penyakit
ibu semakin parah dan aku tetap mengabaikannya. Ayahku yang brengsek itu bahkan
sudah nggak pernah muncul lagi di hadapan kami setelah membawa pergi uang
tabunganku. Uang hasil jerih payah aku menjual lukisan-lukisanku. Semua raib
dibawanya kabur. Dan aku tetap nggak menyadari keadaan fisik ibuku yang
sekarat. Penyakit itu sudah menjalari sekujur tubuhnya. Dan aku…”
“Cukup,
Una! Hentikan! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri!”
Juna
terkesiap. Kepalanya terangkat seketika setelah mendengar pemilik suara yang
tidak asing berteriak di hadapannya. Matanya membulat sempurna. Restia membekap
mulutnya yang nyaris tidak bisa kembali menutup. Mereka berdua kehabisan
kata-kata.
“A..
Arum?” Juna terbata. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Arum
menatapnya nanar. Air mata terus mengalir menggenangi wajah cantiknya. Juna
berdiri. Juna tahu Arum pasti sangat kecewa setelah mendengar semuanya. Sejenak
mereka berdua hanya saling pandang tanpa kata. Kemudian Arum berbalik. Ia
berlari tergesa menjauh dari Juna.
“Tunggu!”
cegah Juna. Ia panik, tidak tahu harus bagaimana.
Argh! Kenapa semuanya jadi
berantakan begini?!
***
#TugasMateri6
#KelasFiksiODOP2017
#OneDayOnePost
***
Berikut saya lampirkan sepenggal tulisan karya penulis kondang yang menginspirasi saya untuk menjadi penulis.
Judul : LET GO
Karya : Windhy Puspitadewi
***
Mengalir, sendu...
BalasHapusKeren
Mengalir, sendu...
BalasHapusKeren
Mbak Wiwid mah udah khatam baca RIP.. 😆 makasi mbak Wid.
Hapus