Kunci Aku!
"Kunci aku!"
Pekikan tertahan itu berasal dari Fa. Begitulah ia biasa disapa. Hanya sesingkat itu. Fa.
Suara gadis itu terdengar parau. Entahlah, tak biasanya ia memproduksi warna suara yang demikian. Mungkin efek dari panik. Atau karena flu-nya pagi ini. Frekuensi suara Fa memang tidak pernah naik melebihi gelombang infrasonik. Bahkan saat panik sekalipun. Tak heran, hanya telinga-telinga yang peka saja yang bisa mendengar suara kalemnya itu. Dan kebetulan telinga Kei sedang peka siang ini.
Kei tahu. Fa bukan tengah membaca judul puisi. Atau mendeklamasikan isi hatinya. Atau memerintah. Tidak. Bukan itu.
Kei tahu. Namun ia diam saja. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak mendengar suara Fa. Namun malaikat Atid mendengar sumpah palsu Kei. Malaikat Atid merekam menggunakan smartphone canggih pemberian Tuhan. Dehaman, jeda, titik, koma, semua terekam abadi disana.
Kei melirik kantong celana sebelah kiri, kemudian merabanya.
Maaf Fa, aku terpaksa mengambil ini...
Kei mendesah kesal dalam hati. Ia menyesali perbuatan bodoh dan konyolnya pagi ini. Saat Fa menghadap Kepala Sekolah, Kei mengambil kunci motor Fa yang tergeletak di meja kerjanya. Situasi dan kesempatan memang sangat mendukung Kei hari ini. Dan entah ada apa dengan Fa pagi ini, tak biasanya ia ceroboh dan sembrono. Meninggalkan sesuatu yang penting di sembarang tempat, bukan seperti dirinya sama sekali. Fa itu perfeksionis.
Keberuntungan. Mungkin kata itu tengah berpihak pada Kei hari ini. Dan iblis menambahkan bisikan sesatnya pada Kei. Sempurna sudah perbuatannya!
"Cari apa, Bu?" tanya Kei seraya memasang senyum termanisnya. Dan tak lupa sentuhan magis poker face. Alias wajah tanpa dosa. Membuat wanita manapun bertekuk lutut padanya. Kecuali Fa. Entah kenapa muka pangerannya itu tak berefek sama sekali pada Fa.
"Cari kunci motor, Pak."
Setelah mengaduk isi tasnya, gadis itu kini berpindah mengaduk-aduk isi laci. Dan di sisi lain, isi hati seseorang tengah teraduk pula.
Kei gundah. Pertentangan dilema saling baku hantam di dalam kepalanya. Ia sangat merasa berdosa. Tak tega rasanya berbuat demikian jauh kepada gadis itu. Rasa takut, cemas, kekhawatiran yang berlebihan kini bercampur menjadi satu dalam dadanya. Rasa yang menjalar menuju perut, membuatnya ingin mengeluarkan isinya sekarang juga.
Namun Kei harus bertahan. Sudah kepalang basah. Ia tak bisa mundur atau mengibarkan bendera putih sekarang. Tidak, tidak sekarang. Tidak saat ia telah menanti-nantikan kesempatan ini datang setelah penantian dalam bisu selama satu tahun.
Tapi perasaannya memberontak. Ia merasa sangat menyesal akan perbuatan 'cerdas'-nya hari ini. Sudah beberapa kali Fa bersin tanpa henti. Rasa khawatir membuat flu Fa makin parah.
"Eh, eh, eh... ada apa ini?" Fa bingung, Kei tiba-tiba menarik tangannya setelah mengucapkan 'ayo'. Kei memberi isyarat agar Fa mengikutinya. Dengan cepat Fa menyambar tas tangannya.
"Ini."
Fa bertambah bingung. Keningnya berkerut. Air mukanya yang polos itu sangat menggemaskan ketika ia bingung. Kei memberinya helm miliknya sendiri. Iya, helm milik Fa!
Apa maksudnya nih orang?
"Aku antar kamu pulang." Kei memundurkan motornya dari pelataran parkir khusus guru di sekolah itu.
"Ng.."
"Ayo naik." perintah Kei dengan lembut. Ia sungguh tak tega membiarkan Fa pulang sendiri dalam keadaan sakit.
"Tapi saya..."
"Mbak Fa nggak percaya sama saya?"
Kei memanggil Fa dengan sebutan 'Mbak' jika sudah berada di luar ruangan. Mereka berdua seumuran, namun Kei lebih muda satu bulan dari Fa.
"Bukan gitu, tapi ini motor saya gimana?"
"Tenang, nanti saya yang ngurus."
Fa diam. Tanda tanya besar masih lekat sekali di raut wajahnya. Meski telah satu tahun saling mengenal, Fa masih belum sepenuhnya percaya pada Kei atau siapapun di kantor ini. Pantas jika Fa menaruh curiga.
Fa tersenyum. Kemudian memakai helm-nya.
"Makasih Mas, tapi saya nunggu orang rumah saja. Baru saja saya WA orang rumah untuk membawakan kunci cadangan dari rumah."
Sial! Gagal lagi!
Kei merutuk. Rencana sempurnanya kali ini tak semulus kelihatannya. Malaikat Atid saksinya. Dan sepertinya Sang Malaikat telah mengadukan perbuatannya kepada Sang Maha Pencipta, sehingga tangan-Nya terulur menyepak rencana Kei yang nyaris sukses siang ini. Sungguh ironis.
***
"Gimana? Berhasil?" tanya Tora seraya meringis setelah menyesap espresso yang baru saja disajikan oleh pramusaji kafe.
"Gatot! GAGAL TOTAL!" Kei mengacak rambutnya sendiri. Kepalanya tertunduk lesu.
"Kok bisa?" rasa espresso terasa menggigit lidah Tora setelah mendengar kabar mengejutkan itu. "Kei, please. Kita butuh uang secepatnya. Kalau kamu gini terus, gimana—"
"Okay, okay. I know. I know it very clearly. You don't need to remind me again and again, okay? Masalahnya adalah dia masih punya cadangan kuncinya." papar Kei. "Nih, liat. Aku cuma berhasil ngambil kuncinya doang."
Kei meletakkan kunci motor Fa di hadapan Tora.
Tora membaca sebaris tulisan yang ada di papan gantungan kunci itu, kemudian tergelak.
"Apaan yang lucu?" Kei merasa tersindir.
"Nggak. Aku tiba-tiba aja dapet ide brilian." kata Tora dengan tawa yang masih tersisa.
"Ah, idemu itu selalu kelihatan brilian di awal. Tapi nggak di hasilnya."
"Eit, eit... keberhasilan dari ide-ide brilian milikku tergantung dari siapa pelakunya, siapa yang menjalankannya."
"Oke, sekarang kamu mengatai aku dengan memuji diri sendiri?" kata Kei malas. Ia menumpukan kepalanya di atas telapak tangan.
"Sori Sob, nggak maksud. Sensitif amat kayak ibu-ibu hamil." canda Tora.
"Please, kenapa jadi bawa-bawa ibu hamil?"
Tora kembali tergelak.
"Oke, oke, dengerin. Kali ini aku serius. Rencana B."
Tora menaikkan sebelah alis dan sebelah sudut bibirnya. Kei sudah hafal jika Tora memasang muka sinisnya itu, artinya Tora sedang benar-benar jenius.
"Let's hear your plan B then." pungkas Kei.
***
Kei menghela napas. Keringat dingin menjalar di sekujur punggungnya. Tangannya berkeringat. Berulang kali ia meraup napas banyak-banyak kemudian membuangnya melalui mulut dengan tergesa. Ia gugup setengah mati.
Hari ini, hari ini, ya hari ini! Hari ini harus berhasil!
Ia kembali meyakinkan dirinya untuk yang ke dua puluh tujuh pagi ini. Rencana B buatan Tora kemarin kembali terputar bagai film di otaknya.
"Kamu itu terlalu banyak mikir. Terlalu banyak pertimbangan." kata Tora memulai pemaparan ide briliannya.
Kei diam saja. Meskipun ia sebenarnya sangat ingin membantah ucapan partner in crime-nya itu. Ia memilih untuk menyimpannya saja dalam hati.
"Kalo pintu dan jendela sudah terbuka lebar, buat apa ngintip?"
"Kamu lagi belajar baca?" Kei menaikkan sebelah alisnya. Heran.
Tora menghela.
"Bukan lagi belajar, tapi nyoba lebih peka membaca situasi."
"Omonganmu makin nggak jelas. Pake bahasa yang lebih merakyat napa? Pujangga banget bahasamu itu. Kamu tahu kan aku bodoh tentang hal semacam itu? Apa mesti aku perjelas lagi ke-bego-an aku ini? Jelasin."
"Oke, oke. Gini." Tora mencondongkan bahunya beberapa senti ke depan. "Dengerin baik-baik."
"Ehm.. err... jadi begini maksud saya adalah..."
Tenggorokannya kelu. Terbata. Bulir-bulir keringat merembesi pelipisnya.
"Untuk melamar Fatima, putri Bapak." lanjut Pak Didi. Kei menoleh cepat ke arah ayahnya yang kini tersenyum lebar menatapnya.
Pak Ridho pun tersenyum. Agaknya beliau melihat kegugupan calon pelamar putri semata wayangnya itu.
"Benar begitu, Nak Kei?" tanya Pak Ridho memastikan.
"Betul, Pak." kini jawaban Kei terdengar yakin.
"Baiklah, melihat kalian berdua bekerja di bidang yang sama, sama-sama jadi guru, dan saya lihat Nak Kei ini adalah sosok laki-laki yang bisa mengemban tanggungjawab, jadi sebagai orangtua, saya hanya bisa minta tolong satu hal."
"Silahkan, Pak.." kata Kei.
"Tolong jangan jaga anak saya." ujar Pak Ridho.
Kei seketika terkesiap dengan jawaban calon bapak mertuanya ini, begitu pula dengan Pak Didi. Apakah ini artinya Kei telah ditolak?
"K-Kenapa, Pak?" Kei bertanya takut-takut.
"Karena Nak Kei bukan melamar untuk posisi satpam atau penjaga, kan?" Pak Ridho tersenyum kebapakan.
Ketegangan Kei melonggar seketika. Ternyata calon mertuanya ini punya selera humor yang tidak biasa. Hampir saja ia terjebak.
"Nak Kei melamar sebagai calon suami Fatima. Betul begitu?"
Tidak menjawab, Kei hanya mengangguk pelan.
"Tolong buat Fatima bahagia lahir dan batinnya. Hanya itu yang saya minta dari calon suami Fatima. Nak Kei sanggup?"
"Sanggup, Pak." Kei bertemu mata dengan Pak Ridho.
"Saya merestui kalian berdua."
"Satu. Datengin orangtuanya. Datengin bapaknya Fa! Itu satu-satunya cara buat ngebuka pintu restu orangtuanya. Ngerti?" ujar Tora berapi-api.
"What?! Gila!"
"Iya, kamu itu emang sudah nggak waras karena cewek yang namanya Fa itu." ledek Tora.
"Tor, aku serius! Nggak ada cara lain? Plan B part two?" usul Kei frustrasi.
"Ya ampun, kamu tuh... Gini deh, aku kasih kamu satu perumpamaan." Tora meraup kunci motor di depannya. "Kunci ini punya cadangan. Masa nyali kamu nggak punya cadangan?"
"Tapi aku belum siap buat menghadap ba—"
"Kamu bisa naklukin Bromo, masa naklukin Fatima nggak bisa. Aneh."
"Tapi itu kan—"
"Udah, stop! Alasan belum siap ato apapun, itu semua udah basi. Ini tahun 2017 Kei. Sekarang, go! Laksanakan plan B!"
Tanpa sadar, Kei tersenyum mengingat usul gila Tora kemarin.
"Ada apa, Nak Tora? Kok senyum-senyum?" tanya Pak Ridho kalem.
"Oh, nggak ada apa-apa, Pak. Sekali lagi saya bersyukur bapak bersedia mempercayakan Fatima kepada saya."
Jeda satu detik sebelum akhirnya Kei memberanikan untuk mengajukan permintaan.
"Pak, boleh saya mengajukan dua permintaan?"
"Dua permintaan?"
***
"Ini buat kamu." Kei melungsurkan satu kertas tebal berbentuk persegi panjang ke hadapan Fa. Tempat parkir siang itu sudah sepi, karena akhir pekan. Banyak pegawai yang sudah mendahului pulang.
"Siapa yang nikah, Mas?" tanya Fa setelah menerima kertas yang ternyata adalah undangan pernikahan.
"Aku."
"Oh.." jawab Fa kalem tanpa rona terkejut sama sekali. "Makasi, Mas undangannya." ucap Fa kemudian seraya memasukkan undangan itu ke dalam tas.
Kei tidak menyangka akan mendapat respon yang biasa saja dari Fa.
"T-tunggu. Kamu nggak pengen tahu siapa calonku?"
"Ah, nanti waktu di acara resepsi pasti tahu lah." Fa tersenyum, polos.
"Bentar, bentaaar aja. Baca dulu undanganku. Please."
Fa bingung. Tanda tanya besar berkeliling di atas kepalanya. Tapi kemudian ia menuruti permintaan Kei.
"Mas Kei hari ini aneh deh." gumam Fa sambil membuka undangan itu untuk membaca nama calon mempelai perempuan yang tertera di sana.
"Fatima?" Fa menatap Kei dengan sumringah. "Wah, nama calon Mas Kei sama kayak namaku, ya? Oh jadi itu to alasannya aku suruh baca undangannya?" Fa tersenyum.
Kei rasa ia sekarang mengerti apa itu jodoh. Sosok cerminan diri. Sosok yang mirip dengan kita. Termasuk dalam kasus Kei kali ini adalah penyakit bodoh Kei, mirip dengan Fa. Dasar jodoh!
"Coba kamu baca nama lengkap dan nama orangtuanya." pinta Kei.
"Fatima Laila Kusumaningrum. Putri kedua Bapak Ridho Suseno, M.Pd dan Ibu Trisnawati.... ini... ini kan..."
Fa bertemu mata dengan Kei. Kei tersenyum.
"Jadi... jadi calon Mas Kei—"
"Iya, kamu."
Fa berkaca-kaca. "Kok bisa—"
"Dapet restu dari bapakmu?"
Fa mengangguk. Ia kehabisan kata-kata.
"Ceritanya panjang. Tapi yang jelas, kamu harus datang ya, ke acara ini." Kei tersenyum lalu melanjutkan, "Nggak ada kamu, nggak rame."
Fa yang hendak menangis, seketika tergelak. Tangis harunya terhenti di sudut mata.
"Dan ini." Kei menyerahkan sesuatu.
"Ini kan kunciku. Mas Kei nemu dimana?" Fa menerimanya dengan gembira. Tanpa rasa curiga sedikitpun.
"Maaf, sebenernya aku sengaja mengambilnya dari mejamu dua hari yang lalu."
Fa terkejut bercampur bingung. "Lho, kok?"
"Aku selalu pengen bonceng kamu pulang, tapi selalu aja gagal, karena kamu selalu menolak. Dan akhirnya, aku ngambil kunci itu supaya kamu nggak bisa pulang dan akhirnya mau aku anter. Tapi ternyata trik itu juga nggak berhasil. Kamu malah lebih milih nunggu kunci cadangan daripada aku bonceng pulang. Maaf, tindakanku bodoh, ya?"
"Iya, kamu bodoh. Kenapa nggak ngomong langsung aja pengen nganter aku pulang?" Fa tersipu.
"Oh, iya ya. Kenapa aku nggak ngomong langsung aja ya.." canda Kei.
"Dasar." Fa tersenyum.
"Oke, sekarang biar aku coba ngomong langsung." Kei berdeham sebelum melanjutkan, "Fatima Laila Kusumaningrum, nikah yuk."
Fa tergelak.
"Kok ketawa?"
"Klise banget."
"Trus harus gimana dong?"
"Aku nggak perlu jawab lagi kan? Jawaban bapak udah mewakili." kata Fa.
"Hm.. oke." Kei berpikir sejenak, sebelum akhirnya bertanya. "Dan aku selalu pengen ngajak kamu jalan. Nonton yuk."
"Sekarang?"
Kei mengangguk.
"Ogah."
"Kamu nggak hobi nonton? Oh oke nggak apa-apa kalo kamu nggak—"
"Aku nggak mau jalan kaki, naik motor mau." sela Fa seraya tersenyum.
Kei menghela. Kena deh, dikerjain.
"Tapi, aku ijin bapak dulu, ya."
"Bapakmu udah mengijinkan, kok." sambar Kei.
Fa mengernyit.
"Iya, jadi gini ceritanya."
"Pak, boleh saya mengajukan dua permintaan?"
"Dua permintaan?"
Pak Ridho mempersilahkan Kei untuk menyebutkan permintaannya.
"Yang pertama, saya mohon jangan beri tahu Fatima dulu soal ini."
"Lho, kenapa?"
"Karena saya sudah menyiapkan kejutan untuk memberitahunya sendiri."
"Baik, lalu permintaan kedua?"
"Yang kedua, saya mohon ijin untuk mengajak Fatima kencan satu hari. Apakah boleh?"
Fa tergelak mendengar penuturan Kei. Kei tersenyum. Sekarang Kei mengerti maksud Tora kemarin.
"Inget satu hal. Ibarat rumah nih ya, etika sopannya kamu harus ketok dulu pintunya, dan bukan ngintip ke jendelanya." begitulah Tora dengan nasihatnya yang selalu membuat Kei mangap kehabisan kata-kata.
"Maksud kamu?"
"Gini Rahmatullah Keizaky yang ganteng dan rajin menabung," Tora menghela sebelum melanjutkan. "Maksudnya, kamu harus temui dulu bapaknya buat dapet restu. Niat kamu baik, kan? Jadi, pintu restu orangtuanya Fa adalah kunci nomor satu, sebelum kamu ngintip jendela hatinya Fa. Paham, anak ganteng?"
Kei tergelak. "Siap. 86!"
"Thanks, Tor. Kamu emang sahabat paling gila yang pernah ku kenal." Kei menepuk-nepuk bahu Tora berulang kali.
"Makasih doang?"
"Trus mau kamu apa? Minta cium? Sini, mau aku cium pake kaki kanan apa kiri?"
***
Satu bulan kemudian...
"Wah, selamat nih buat Rahmatullah Keizaky yang ganteng dan rajin menabung. Akhirnya jadi Eksmud juga!" seketika Tora merangkul partner-in-crime-nya itu.
Suasana panti asuhan pagi itu begitu damai. Kei tersenyum ke arah wanita yang tengah bermain bersama anak-anak kecil di seberang beranda.
"Eksmud apaan? Istilah kamu lagi-lagi sok profesor! Merakyat dikit napa? Aku lebih suka disebut sebagai pengelola."
"Iya deh. Terserah. Yang pasti, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui." kerling Tora. Ia menoyor lembut bahu Kei. "Ya, nggak?"
"Gimana pun nantinya kamu yang kudu ngejaga tempat ini, Tor. Sebagai tangan kananku." Kei mendadak serius.
"Iya, aku tahu. Ini juga kan alasan kenapa kakekmu menyuruh kamu segera menikah?Kamu nggak pengen tempat ini jatuh ke tangan yang salah. Dan kamu harus berterimakasih karena penyumbang dana terbesar untuk rehab panti ini adalah beliau. Dan dia." Tora menepuk bahu Kei. "Kamu beruntung punya Fa sebagai pendampingmu."
"Jadi, kamu kapan nyusul?" tohok Kei yang di sambut dengan muka masam Tora.
"Kayaknya kamu minta dicium pake ketiak, ya? Sini!"
"Eit.. eit... eit, Tora Subagyo yang ganteng dan rajin menabung, kamu sendiri kan yang bilang. Kalau pintu dan jendela sudah terbuka lebar, buat apa ngintip? Benar begitu, kan, anak ganteng?" tohok Kei. Akhirnya ia bisa membalas omongan Tora kemarin.
"Sialan." umpat Tora kemudian kembali memiting leher Kei.
***
(Selesai)
#tantangankelasfiksi1
Pekikan tertahan itu berasal dari Fa. Begitulah ia biasa disapa. Hanya sesingkat itu. Fa.
Suara gadis itu terdengar parau. Entahlah, tak biasanya ia memproduksi warna suara yang demikian. Mungkin efek dari panik. Atau karena flu-nya pagi ini. Frekuensi suara Fa memang tidak pernah naik melebihi gelombang infrasonik. Bahkan saat panik sekalipun. Tak heran, hanya telinga-telinga yang peka saja yang bisa mendengar suara kalemnya itu. Dan kebetulan telinga Kei sedang peka siang ini.
Kei tahu. Fa bukan tengah membaca judul puisi. Atau mendeklamasikan isi hatinya. Atau memerintah. Tidak. Bukan itu.
Kei tahu. Namun ia diam saja. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak mendengar suara Fa. Namun malaikat Atid mendengar sumpah palsu Kei. Malaikat Atid merekam menggunakan smartphone canggih pemberian Tuhan. Dehaman, jeda, titik, koma, semua terekam abadi disana.
Kei melirik kantong celana sebelah kiri, kemudian merabanya.
Maaf Fa, aku terpaksa mengambil ini...
Kei mendesah kesal dalam hati. Ia menyesali perbuatan bodoh dan konyolnya pagi ini. Saat Fa menghadap Kepala Sekolah, Kei mengambil kunci motor Fa yang tergeletak di meja kerjanya. Situasi dan kesempatan memang sangat mendukung Kei hari ini. Dan entah ada apa dengan Fa pagi ini, tak biasanya ia ceroboh dan sembrono. Meninggalkan sesuatu yang penting di sembarang tempat, bukan seperti dirinya sama sekali. Fa itu perfeksionis.
Keberuntungan. Mungkin kata itu tengah berpihak pada Kei hari ini. Dan iblis menambahkan bisikan sesatnya pada Kei. Sempurna sudah perbuatannya!
"Cari apa, Bu?" tanya Kei seraya memasang senyum termanisnya. Dan tak lupa sentuhan magis poker face. Alias wajah tanpa dosa. Membuat wanita manapun bertekuk lutut padanya. Kecuali Fa. Entah kenapa muka pangerannya itu tak berefek sama sekali pada Fa.
"Cari kunci motor, Pak."
Setelah mengaduk isi tasnya, gadis itu kini berpindah mengaduk-aduk isi laci. Dan di sisi lain, isi hati seseorang tengah teraduk pula.
Kei gundah. Pertentangan dilema saling baku hantam di dalam kepalanya. Ia sangat merasa berdosa. Tak tega rasanya berbuat demikian jauh kepada gadis itu. Rasa takut, cemas, kekhawatiran yang berlebihan kini bercampur menjadi satu dalam dadanya. Rasa yang menjalar menuju perut, membuatnya ingin mengeluarkan isinya sekarang juga.
Namun Kei harus bertahan. Sudah kepalang basah. Ia tak bisa mundur atau mengibarkan bendera putih sekarang. Tidak, tidak sekarang. Tidak saat ia telah menanti-nantikan kesempatan ini datang setelah penantian dalam bisu selama satu tahun.
Tapi perasaannya memberontak. Ia merasa sangat menyesal akan perbuatan 'cerdas'-nya hari ini. Sudah beberapa kali Fa bersin tanpa henti. Rasa khawatir membuat flu Fa makin parah.
"Eh, eh, eh... ada apa ini?" Fa bingung, Kei tiba-tiba menarik tangannya setelah mengucapkan 'ayo'. Kei memberi isyarat agar Fa mengikutinya. Dengan cepat Fa menyambar tas tangannya.
"Ini."
Fa bertambah bingung. Keningnya berkerut. Air mukanya yang polos itu sangat menggemaskan ketika ia bingung. Kei memberinya helm miliknya sendiri. Iya, helm milik Fa!
Apa maksudnya nih orang?
"Aku antar kamu pulang." Kei memundurkan motornya dari pelataran parkir khusus guru di sekolah itu.
"Ng.."
"Ayo naik." perintah Kei dengan lembut. Ia sungguh tak tega membiarkan Fa pulang sendiri dalam keadaan sakit.
"Tapi saya..."
"Mbak Fa nggak percaya sama saya?"
Kei memanggil Fa dengan sebutan 'Mbak' jika sudah berada di luar ruangan. Mereka berdua seumuran, namun Kei lebih muda satu bulan dari Fa.
"Bukan gitu, tapi ini motor saya gimana?"
"Tenang, nanti saya yang ngurus."
Fa diam. Tanda tanya besar masih lekat sekali di raut wajahnya. Meski telah satu tahun saling mengenal, Fa masih belum sepenuhnya percaya pada Kei atau siapapun di kantor ini. Pantas jika Fa menaruh curiga.
Fa tersenyum. Kemudian memakai helm-nya.
"Makasih Mas, tapi saya nunggu orang rumah saja. Baru saja saya WA orang rumah untuk membawakan kunci cadangan dari rumah."
Sial! Gagal lagi!
Kei merutuk. Rencana sempurnanya kali ini tak semulus kelihatannya. Malaikat Atid saksinya. Dan sepertinya Sang Malaikat telah mengadukan perbuatannya kepada Sang Maha Pencipta, sehingga tangan-Nya terulur menyepak rencana Kei yang nyaris sukses siang ini. Sungguh ironis.
***
"Gimana? Berhasil?" tanya Tora seraya meringis setelah menyesap espresso yang baru saja disajikan oleh pramusaji kafe.
"Gatot! GAGAL TOTAL!" Kei mengacak rambutnya sendiri. Kepalanya tertunduk lesu.
"Kok bisa?" rasa espresso terasa menggigit lidah Tora setelah mendengar kabar mengejutkan itu. "Kei, please. Kita butuh uang secepatnya. Kalau kamu gini terus, gimana—"
"Okay, okay. I know. I know it very clearly. You don't need to remind me again and again, okay? Masalahnya adalah dia masih punya cadangan kuncinya." papar Kei. "Nih, liat. Aku cuma berhasil ngambil kuncinya doang."
Kei meletakkan kunci motor Fa di hadapan Tora.
Tora membaca sebaris tulisan yang ada di papan gantungan kunci itu, kemudian tergelak.
"Apaan yang lucu?" Kei merasa tersindir.
"Nggak. Aku tiba-tiba aja dapet ide brilian." kata Tora dengan tawa yang masih tersisa.
"Ah, idemu itu selalu kelihatan brilian di awal. Tapi nggak di hasilnya."
"Eit, eit... keberhasilan dari ide-ide brilian milikku tergantung dari siapa pelakunya, siapa yang menjalankannya."
"Oke, sekarang kamu mengatai aku dengan memuji diri sendiri?" kata Kei malas. Ia menumpukan kepalanya di atas telapak tangan.
"Sori Sob, nggak maksud. Sensitif amat kayak ibu-ibu hamil." canda Tora.
"Please, kenapa jadi bawa-bawa ibu hamil?"
Tora kembali tergelak.
"Oke, oke, dengerin. Kali ini aku serius. Rencana B."
Tora menaikkan sebelah alis dan sebelah sudut bibirnya. Kei sudah hafal jika Tora memasang muka sinisnya itu, artinya Tora sedang benar-benar jenius.
"Let's hear your plan B then." pungkas Kei.
***
Kei menghela napas. Keringat dingin menjalar di sekujur punggungnya. Tangannya berkeringat. Berulang kali ia meraup napas banyak-banyak kemudian membuangnya melalui mulut dengan tergesa. Ia gugup setengah mati.
Hari ini, hari ini, ya hari ini! Hari ini harus berhasil!
Ia kembali meyakinkan dirinya untuk yang ke dua puluh tujuh pagi ini. Rencana B buatan Tora kemarin kembali terputar bagai film di otaknya.
"Kamu itu terlalu banyak mikir. Terlalu banyak pertimbangan." kata Tora memulai pemaparan ide briliannya.
Kei diam saja. Meskipun ia sebenarnya sangat ingin membantah ucapan partner in crime-nya itu. Ia memilih untuk menyimpannya saja dalam hati.
"Kalo pintu dan jendela sudah terbuka lebar, buat apa ngintip?"
"Kamu lagi belajar baca?" Kei menaikkan sebelah alisnya. Heran.
Tora menghela.
"Bukan lagi belajar, tapi nyoba lebih peka membaca situasi."
"Omonganmu makin nggak jelas. Pake bahasa yang lebih merakyat napa? Pujangga banget bahasamu itu. Kamu tahu kan aku bodoh tentang hal semacam itu? Apa mesti aku perjelas lagi ke-bego-an aku ini? Jelasin."
"Oke, oke. Gini." Tora mencondongkan bahunya beberapa senti ke depan. "Dengerin baik-baik."
"Ehm.. err... jadi begini maksud saya adalah..."
Tenggorokannya kelu. Terbata. Bulir-bulir keringat merembesi pelipisnya.
"Untuk melamar Fatima, putri Bapak." lanjut Pak Didi. Kei menoleh cepat ke arah ayahnya yang kini tersenyum lebar menatapnya.
Pak Ridho pun tersenyum. Agaknya beliau melihat kegugupan calon pelamar putri semata wayangnya itu.
"Benar begitu, Nak Kei?" tanya Pak Ridho memastikan.
"Betul, Pak." kini jawaban Kei terdengar yakin.
"Baiklah, melihat kalian berdua bekerja di bidang yang sama, sama-sama jadi guru, dan saya lihat Nak Kei ini adalah sosok laki-laki yang bisa mengemban tanggungjawab, jadi sebagai orangtua, saya hanya bisa minta tolong satu hal."
"Silahkan, Pak.." kata Kei.
"Tolong jangan jaga anak saya." ujar Pak Ridho.
Kei seketika terkesiap dengan jawaban calon bapak mertuanya ini, begitu pula dengan Pak Didi. Apakah ini artinya Kei telah ditolak?
"K-Kenapa, Pak?" Kei bertanya takut-takut.
"Karena Nak Kei bukan melamar untuk posisi satpam atau penjaga, kan?" Pak Ridho tersenyum kebapakan.
Ketegangan Kei melonggar seketika. Ternyata calon mertuanya ini punya selera humor yang tidak biasa. Hampir saja ia terjebak.
"Nak Kei melamar sebagai calon suami Fatima. Betul begitu?"
Tidak menjawab, Kei hanya mengangguk pelan.
"Tolong buat Fatima bahagia lahir dan batinnya. Hanya itu yang saya minta dari calon suami Fatima. Nak Kei sanggup?"
"Sanggup, Pak." Kei bertemu mata dengan Pak Ridho.
"Saya merestui kalian berdua."
"Satu. Datengin orangtuanya. Datengin bapaknya Fa! Itu satu-satunya cara buat ngebuka pintu restu orangtuanya. Ngerti?" ujar Tora berapi-api.
"What?! Gila!"
"Iya, kamu itu emang sudah nggak waras karena cewek yang namanya Fa itu." ledek Tora.
"Tor, aku serius! Nggak ada cara lain? Plan B part two?" usul Kei frustrasi.
"Ya ampun, kamu tuh... Gini deh, aku kasih kamu satu perumpamaan." Tora meraup kunci motor di depannya. "Kunci ini punya cadangan. Masa nyali kamu nggak punya cadangan?"
"Tapi aku belum siap buat menghadap ba—"
"Kamu bisa naklukin Bromo, masa naklukin Fatima nggak bisa. Aneh."
"Tapi itu kan—"
"Udah, stop! Alasan belum siap ato apapun, itu semua udah basi. Ini tahun 2017 Kei. Sekarang, go! Laksanakan plan B!"
Tanpa sadar, Kei tersenyum mengingat usul gila Tora kemarin.
"Ada apa, Nak Tora? Kok senyum-senyum?" tanya Pak Ridho kalem.
"Oh, nggak ada apa-apa, Pak. Sekali lagi saya bersyukur bapak bersedia mempercayakan Fatima kepada saya."
Jeda satu detik sebelum akhirnya Kei memberanikan untuk mengajukan permintaan.
"Pak, boleh saya mengajukan dua permintaan?"
"Dua permintaan?"
***
"Ini buat kamu." Kei melungsurkan satu kertas tebal berbentuk persegi panjang ke hadapan Fa. Tempat parkir siang itu sudah sepi, karena akhir pekan. Banyak pegawai yang sudah mendahului pulang.
"Siapa yang nikah, Mas?" tanya Fa setelah menerima kertas yang ternyata adalah undangan pernikahan.
"Aku."
"Oh.." jawab Fa kalem tanpa rona terkejut sama sekali. "Makasi, Mas undangannya." ucap Fa kemudian seraya memasukkan undangan itu ke dalam tas.
Kei tidak menyangka akan mendapat respon yang biasa saja dari Fa.
"T-tunggu. Kamu nggak pengen tahu siapa calonku?"
"Ah, nanti waktu di acara resepsi pasti tahu lah." Fa tersenyum, polos.
"Bentar, bentaaar aja. Baca dulu undanganku. Please."
Fa bingung. Tanda tanya besar berkeliling di atas kepalanya. Tapi kemudian ia menuruti permintaan Kei.
"Mas Kei hari ini aneh deh." gumam Fa sambil membuka undangan itu untuk membaca nama calon mempelai perempuan yang tertera di sana.
"Fatima?" Fa menatap Kei dengan sumringah. "Wah, nama calon Mas Kei sama kayak namaku, ya? Oh jadi itu to alasannya aku suruh baca undangannya?" Fa tersenyum.
Kei rasa ia sekarang mengerti apa itu jodoh. Sosok cerminan diri. Sosok yang mirip dengan kita. Termasuk dalam kasus Kei kali ini adalah penyakit bodoh Kei, mirip dengan Fa. Dasar jodoh!
"Coba kamu baca nama lengkap dan nama orangtuanya." pinta Kei.
"Fatima Laila Kusumaningrum. Putri kedua Bapak Ridho Suseno, M.Pd dan Ibu Trisnawati.... ini... ini kan..."
Fa bertemu mata dengan Kei. Kei tersenyum.
"Jadi... jadi calon Mas Kei—"
"Iya, kamu."
Fa berkaca-kaca. "Kok bisa—"
"Dapet restu dari bapakmu?"
Fa mengangguk. Ia kehabisan kata-kata.
"Ceritanya panjang. Tapi yang jelas, kamu harus datang ya, ke acara ini." Kei tersenyum lalu melanjutkan, "Nggak ada kamu, nggak rame."
Fa yang hendak menangis, seketika tergelak. Tangis harunya terhenti di sudut mata.
"Dan ini." Kei menyerahkan sesuatu.
"Ini kan kunciku. Mas Kei nemu dimana?" Fa menerimanya dengan gembira. Tanpa rasa curiga sedikitpun.
"Maaf, sebenernya aku sengaja mengambilnya dari mejamu dua hari yang lalu."
Fa terkejut bercampur bingung. "Lho, kok?"
"Aku selalu pengen bonceng kamu pulang, tapi selalu aja gagal, karena kamu selalu menolak. Dan akhirnya, aku ngambil kunci itu supaya kamu nggak bisa pulang dan akhirnya mau aku anter. Tapi ternyata trik itu juga nggak berhasil. Kamu malah lebih milih nunggu kunci cadangan daripada aku bonceng pulang. Maaf, tindakanku bodoh, ya?"
"Iya, kamu bodoh. Kenapa nggak ngomong langsung aja pengen nganter aku pulang?" Fa tersipu.
"Oh, iya ya. Kenapa aku nggak ngomong langsung aja ya.." canda Kei.
"Dasar." Fa tersenyum.
"Oke, sekarang biar aku coba ngomong langsung." Kei berdeham sebelum melanjutkan, "Fatima Laila Kusumaningrum, nikah yuk."
Fa tergelak.
"Kok ketawa?"
"Klise banget."
"Trus harus gimana dong?"
"Aku nggak perlu jawab lagi kan? Jawaban bapak udah mewakili." kata Fa.
"Hm.. oke." Kei berpikir sejenak, sebelum akhirnya bertanya. "Dan aku selalu pengen ngajak kamu jalan. Nonton yuk."
"Sekarang?"
Kei mengangguk.
"Ogah."
"Kamu nggak hobi nonton? Oh oke nggak apa-apa kalo kamu nggak—"
"Aku nggak mau jalan kaki, naik motor mau." sela Fa seraya tersenyum.
Kei menghela. Kena deh, dikerjain.
"Tapi, aku ijin bapak dulu, ya."
"Bapakmu udah mengijinkan, kok." sambar Kei.
Fa mengernyit.
"Iya, jadi gini ceritanya."
"Pak, boleh saya mengajukan dua permintaan?"
"Dua permintaan?"
Pak Ridho mempersilahkan Kei untuk menyebutkan permintaannya.
"Yang pertama, saya mohon jangan beri tahu Fatima dulu soal ini."
"Lho, kenapa?"
"Karena saya sudah menyiapkan kejutan untuk memberitahunya sendiri."
"Baik, lalu permintaan kedua?"
"Yang kedua, saya mohon ijin untuk mengajak Fatima kencan satu hari. Apakah boleh?"
Fa tergelak mendengar penuturan Kei. Kei tersenyum. Sekarang Kei mengerti maksud Tora kemarin.
"Inget satu hal. Ibarat rumah nih ya, etika sopannya kamu harus ketok dulu pintunya, dan bukan ngintip ke jendelanya." begitulah Tora dengan nasihatnya yang selalu membuat Kei mangap kehabisan kata-kata.
"Maksud kamu?"
"Gini Rahmatullah Keizaky yang ganteng dan rajin menabung," Tora menghela sebelum melanjutkan. "Maksudnya, kamu harus temui dulu bapaknya buat dapet restu. Niat kamu baik, kan? Jadi, pintu restu orangtuanya Fa adalah kunci nomor satu, sebelum kamu ngintip jendela hatinya Fa. Paham, anak ganteng?"
Kei tergelak. "Siap. 86!"
"Thanks, Tor. Kamu emang sahabat paling gila yang pernah ku kenal." Kei menepuk-nepuk bahu Tora berulang kali.
"Makasih doang?"
"Trus mau kamu apa? Minta cium? Sini, mau aku cium pake kaki kanan apa kiri?"
***
Satu bulan kemudian...
"Wah, selamat nih buat Rahmatullah Keizaky yang ganteng dan rajin menabung. Akhirnya jadi Eksmud juga!" seketika Tora merangkul partner-in-crime-nya itu.
Suasana panti asuhan pagi itu begitu damai. Kei tersenyum ke arah wanita yang tengah bermain bersama anak-anak kecil di seberang beranda.
"Eksmud apaan? Istilah kamu lagi-lagi sok profesor! Merakyat dikit napa? Aku lebih suka disebut sebagai pengelola."
"Iya deh. Terserah. Yang pasti, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui." kerling Tora. Ia menoyor lembut bahu Kei. "Ya, nggak?"
"Gimana pun nantinya kamu yang kudu ngejaga tempat ini, Tor. Sebagai tangan kananku." Kei mendadak serius.
"Iya, aku tahu. Ini juga kan alasan kenapa kakekmu menyuruh kamu segera menikah?Kamu nggak pengen tempat ini jatuh ke tangan yang salah. Dan kamu harus berterimakasih karena penyumbang dana terbesar untuk rehab panti ini adalah beliau. Dan dia." Tora menepuk bahu Kei. "Kamu beruntung punya Fa sebagai pendampingmu."
"Jadi, kamu kapan nyusul?" tohok Kei yang di sambut dengan muka masam Tora.
"Kayaknya kamu minta dicium pake ketiak, ya? Sini!"
"Eit.. eit... eit, Tora Subagyo yang ganteng dan rajin menabung, kamu sendiri kan yang bilang. Kalau pintu dan jendela sudah terbuka lebar, buat apa ngintip? Benar begitu, kan, anak ganteng?" tohok Kei. Akhirnya ia bisa membalas omongan Tora kemarin.
"Sialan." umpat Tora kemudian kembali memiting leher Kei.
***
(Selesai)
#tantangankelasfiksi1
Komentar
Posting Komentar