Kenihilanku

Ketika aku terdiam. Renungan mengikat memori ingatanku. Dan untuk kesekian kalinya aku bertanya pada pantulan diriku yang lain. Siapa aku?

Ketika aku bungkam. Entah tak tahu arah. Tak tahu jalan pulang. Dan untuk kesekian kalinya aku berkata pada percik air yang tengah menyandera bayang-bayangku. Apakah aku ini?

Ketika aku terbangun dari mimpi burukku di malam hari. Tak satupun memori hitam itu sudi pergi dari alam bawah sadarku. Dan saat semua orang menguliti kekuranganku dan menikamku dari belakang, untuk kesekian kalinya aku mengadu kepada angin. Untuk apa aku di sini?

Saat semua nampak abu-abu. Berdiri di antara garis hitam dan putih. Menggelar permadani berbalut luka. Mengukir pahat patung bernama manusia. Untuk kesekian kalinya aku meneriaki matahari tenggelam. Kenapa tak kau ajak aku tenggelam bersamamu? Jangan tinggalkan aku mematung di sini!

Saat aku memohon. Permohonanku bagai debu tak berarti. Yang hanya akan dipandang tak penting. Tak punya harapan, bahkan setitik kecil pun tidak. Dan untuk kesekian kalinya apa yang aku takutkan tiba-tiba menjadi kenyataan. Ada apa dengan tempat ini? Kian lama kian membusuk. Aku enggan tinggal di tempat ini! Bebaskan aku!

Di antara janji suci dan dusta abadi, aku lahir. Dan untuk kesekian kalinya kuberanikan diri untuk mengeluh. Untuk apa Tuhan menciptakan aku? Atas dasar apa?

Di antara perdebatan tak berujung, aku hidup. Aku ada. Namun, sekali lagi kuberanikan diri menantang semesta dan berteriak hingga pita suaraku putus. Apa itu cinta? Apa itu kasih? Apa arti semua itu? Tak ada gunanya menjelaskan dua abstrak itu pada manusia nihil sepertiku. Lupakan.

Redup cahaya senja. Temaram sinar harapan. Berkabut suasana hati. Ditengah-tengah semua itu kenihilanku bersemayam. Meringkuk, menggigil, kedinginan, dan seorang diri. Tanpa kawan, tanpa kasih dan dekapan. Perlindungan, ke mana lagi harus kucari abstrak itu?

Gelap. Pekat. Deras. Jarum kehidupan yang menusuk-nusuk pori-pori kulitku yang sensitif. Begitu sensitif sehingga terasa sangat menyakitkan. Apa yang mereka toreh? Hanyalah hujaman rasa sakit, luka dan kenistaan tanpa akhir.

Dan pada akhirnya aku berbaring di atas permadani hijau nan indah. Penuh wangi bunga setaman. Betapa damai di sini. Betapa ingin kuterpejam sesaat menikmati angin yang menggelitik. Mempermainkan kaki telanjangku, rambut hitam panjangku yang bebas tergerai.

Untuk pertama kalinya aku tak ingin menanyakan apapun. Tak ingin mengadukan apapun kepada penciptaku. Karena kini aku telah damai bersama-Nya.

***

#TugasMateri4
#KelasFiksiODOP

Ditulis Oleh: Dymar Mahafa

***

Terima kasih banyak kepada Bunda Tita yang telah merelakan waktunya untuk mereview "Kenihilanku" 🙏😍

Review “Kenihilanku” (tulisan Dymar Mahafa)

Komentar

  1. Lama gak mampir blognya mbk Dymar. Semakin ketje diksinya.
    Kalau saya jadi juri, saya nilai sepuluh untuk tantangan ini ....
    Upst, dijitak Uncle nanti saya =D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun mas Her.. tapi sayangnya saya telat ngumpulin tugas, jadi yg ini nggak dapet nilai deh. He8x..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori