You are REAL - 21 (end)

"Mbak Dara?" tiba-tiba Real muncul di belakangku. Reflek, ku putar badanku menghadapnya.

Pagi yang dingin. Angin bulan Desember begitu menusuk sekujur urat nadi. Darahku serasa turut beku. Mungkin sekarang efeknya sudah merembet ke ulu hati dan cerebellum.

Keseimbanganku hilang. Menguap, melayang jauh terseret angin beku bulan Desember. Ragaku mati rasa. Pikiranku berkelana entah kemana. Tak tentu arah, pun tak tentu tujuan. Batinku menjerit meminta pertolongan. Namun leherku serasa dicekik tangan-tangan tak kasat mata. Hingga air mataku nyaris merembesi sudut-sudut mataku.

Ku tatap raut wajahnya sekilas. Hatiku tercabik. Pedih. Sakit. Lidahku kelu. Pita suaraku tercekik. Sulit sekali rasanya hanya untuk mengucap satu patah kata saja. Aku membisu. Hatiku hampa.

Real.

Laki-laki itu. Laki-laki yang tak terbaca. Perpaduan yang aneh antara misterius, angkuh, pendiam, idealis, ego selangit sekaligus halus budi. Janggal.

Otakku berdenging. Seakan bergulung-gulung lembaran layar besar berisi runtutan kejadian yang menghinggapiku kini terpanggil kembali. Muncul begitu intens dan terlampau lambat. Kilas balik yang memuakkan. Batinku tertawa sinis. Bahkan wajahku pun tetap datar. Bagaimana bisa aku tersenyum setelah semua ini?

Real.

Mungkin benar jika aku terlampau naif. Aku terus saja mengelak bahwa aku tak menyukainya. Namun, siapa mengira sekarang ini aku terbakar api cintaku sendiri. Hatiku terbakar. Panas sekali bisa kurasakan. Otakku mendidih. Aku muak! Seakan ragaku yang kian lemah ini sebentar lagi akan habis. Tak berbekas. Lenyap dimangsa api. Gelenyar-gelenyar aneh kembali merayapiku. Kenapa jadi begini? Kenapa rasanya sungguh tidak adil? Lihat, kan? Aku memang manusia hina yang hanya mampu berkeluh.

Aku menyadari. Tuhan telah menjawabku. Tuhan telah memberitahukan padaku maksud sebenarnya dari seluruh rentetan kebetulan yang terjadi beberapa bulan yang lalu.

Aku mengerti sekarang. Permohonanku telah dikabulkan-Nya. Di saat, dan waktu yang tepat. Haruskah aku menjerit sekarang? Menangis haru? Atau mengabarkan berita ini kepada langit dan rumput yang bergoyang?

Tidak.

Aku memilih untuk mensyukurinya. Diam dan bersyukur. Bahwa itu artinya Tuhan masih sudi bicara denganku. Tuhan masih peduli padaku. Tuhan masih selalu memikirkanku. Menyertai di setiap langkahku. Terima kasih, Tuhan.

Masih belum hilang rasa heranku. Pias. Wajahku masih pasi. Mataku tak fokus.

Ku pandangi benda ringan yang ada di tanganku. Berbentuk kotak. Persegi. Bertuliskan inisial nama dua orang.

The Wedding of D&R.

Dia tersenyum singkat kemudian berlalu, setelah menyerahkan surat undangan pernikahannya padaku.

Inisial D? Siapa D?

Yang jelas itu bukan aku. Bukan singkatam dari Dara. Lalu siapa?

Entah. Aku sudah tak kuat menanggung beban ini. Rasa aneh ini kian menggerogotiku. Ku telan seorang diri semua kepahitan ini. Bumerang yang ku lempar kini datang menghampiriku. Siap menumbangkan seluruh sendi di sekujur tubuh lemah ini. Naif rasanya jika aku berkata aku tak cemburu. Namun di sisi lain, aku bersyukur bahwa ternyata memang bukan dia orangnya. Pendamping hidupku, memang bukan dia. Tuhan mencoba memberitahuku tentang itu. Dan apa aku akan berpura-pura tuli setelah kenyataan ini menyalamiku? Gila, jika aku melakukannya.

Naif. Betapa naifnya diriku. Pemikiranku serta semua yang ada padaku. Sungguh memuakkan. Aku benci diriku sendiri. Aku benci menjadi seorang Dara.

Namun, apa kalian berpikir apa yang aku pikirkan? Haruskah aku merebut Real dari wanita itu sekarang? Bukankah kemarin aku bersikeras mengelak? Bahwa aku tak menginginkannya. Bahwa seharusnya panah cinta memilih orang lain saja. Dan sekarang, doa-doa dan ucapanku terkabulkan. Bukankah seharusnya aku lega? Namun kenapa naluri ini berubah haluan? Gila, sungguh gila kau Dara. Tak waras! Akalmu dimakan iblis dan bala tentaranya.

Tak mampu ku ucap terima kasih atau sekedar tersenyum padanya saat surat undangan ini menyentuh permukaan kulit telapak tanganku.

Hanya satu doa klise yang bisa ku daraskan. Aku harap wanita itu bahagia bersamanya. Siapa lagi?

Real, tentu saja.

Tuluskah hatiku mendoakan mereka? Pertanyaan macam apa itu?

Tentu saja.

Tentu saja aku sendiri tak tahu jawabannya. Hatiku, hanya Tuhan yang mengetahuinya.

Semua akan datang di waktu yang tepat. Tak ada yang perlu ditakuti, pun dirisaukan. Karena jodoh, maut serta rezeki, semua telah diatur oleh-Nya. Sejatinya jodoh itu ada di tangan manusia itu sendiri, sedangkan campur tangan Tuhan adalah penentunya. Tuhan merestui atau tidak.

Jadi secarut apapun skenario yang Tuhan hadirkan, semua itu hanyalah salah satu dari sekian banyak kerumitan lain yang Tuhan hadirkan ke hadapan manusia. Namun, tetaplah senantiasa berharap pada-Nya. Karena janji Tuhan adalah pasti. Mutlak. Dan tak ada satu janji pun yang akan mengecewakan makluk ciptaan-Nya.

Termasuk kau, manusia.

(tamat)

***

Author:  Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori