Coretan Antah Berantah

"Never Flat"

Hari ini hari terakhir Ramadhan di tahun ayam api 2017. Entah apa yang 'merasuki' pikiran Anak Baru Gede ini. Mungkin karena efek terlalu kekinian yang melebihi batas maksimal. Beberapa hari ini anak itu sering salah mengartikan suatu istilah atau pengertian dari penyebutan suatu istilah.

"Never Flat."

Tiba-tiba adik perempuan semata wayang menyeletuk. Dengan logat ala British yang dilebih-lebihkan. Tapi pelafalannya betul. Seketika itu gue tergelak.

"Apanya yang Never Flat?" tanya gue sembari mengoperasikan smartphone.

"Bukan apa-apa. Mbak jangan kudet deh. Hari gini nggak tau Never Flat." kata dia sambil meneruskan permainan Who Wants To Be A Millionaire di laptop gue.

"Emang apa artinya?" gue udah curiga pasti bentar lagi jawabannya nggak beres.

"Never Flat itu nama jajan itu, lho. Ih, masa nggak tau sih."

See? I told you, she is —err... she has different sense. (Read: absurd)

Lihat sendiri, kan? Siapa yang nggak pengen ngakak setelahnya, coba? Overdosis iklan tuh anak. Stadium lima deh tingkat 'kewarasan'-nya.

"Nama jajannya bukan Never Flat, buk." ralat gue sembari menoyor lembut bahu cungkringnya.

Ya ampun, dasar anak tahun 2017...

***

"Alhamdulillah Anakku Lanang"

Ini cerita dari celotehan Bapak beberapa hari yang lalu. Terus kita berdua nimbrung, biar lebih seru.

"Pa, Helen itu artinya terang, kan?" dia memulai.

"Iya. Helen juga nama Dewi dari Yunani. Dewi paling cantik." ujar Bapak.

"Aku baca di buku arti nama-nama. Helen itu artinya—" dan bla bla bla, dia terus berceloteh.

Hingga kemudian...

"Ada juga di berita dikabarkan kalo ada anak yang punya nama unik, dan artinya mudah dipahami." kata Bapak memulai ceritanya.

Kami diam menyimak. Menanti kelanjutan cerita Bapak.

"Alhamdulillah Anakku Lanang. Itu namanya."

Pecah seketika itu juga tawa kami berdua. Bertiga, karena Bapak juga tertawa setelah itu.

Konyol, tapi itu nyata. Bukan berita hoax.

Bagi gue itu bukan nama, tapi sebuah pernyataan terang-terangan. Ya mungkin orangtua si anak ingin mengungkapkan rasa syukur yang teramat sangat kepada Tuhan kali ya. Karena secara harfiah, menurut Kamus Besar Bahasa Jawa, arti nama itu adalah "Syukurlah, anak saya laki-laki".

Ya ampun, dasar orang tua tahun 2017...

Kemudian candaan kami berlanjut menjadi semakin tidak jelas.

"Trus, panggilannya siapa, Pa?" tanya si adek.

"Sama Ibuknya dia dipanggil Nanang."

"Nanang?" adek ngakak. "Nanang itu apa maksudnya?"

"Yaa.. anak lanang. Panggilan anak laki-laki."

Gue nggak nanggepin. Cuman nggak bisa berhenti ngikik.

"Kenapa nggak dipanggil Dulilah aja?" kata si adek dibarengi gelak tawa. "Ato Dul aja. Ato—"

Apa aja boleh deh, Dek...

***

"Goblin"

Di suatu malam sahur bulan Ramadhan 2017 hari kesekian, gue sekali lagi terlibat percakapan konyol dengan si adek. Semua itu bermula dari kata 'garam'.

"Garam itu biasanya dibuat sarana pengusir dedemit/ setan." kata gue.

"Masa?" adek mengernyit tak percaya. "Setan Goblin juga?"

Kenapa tiba-tiba bawa-bawa Goblin sih?

"Goblin?" giliran gue yang mengernyit.

Bukan karena nggak tahu apa itu Goblin, tapi karena heran kenapa tiba-tiba pembicaraan itu tersesat dan dia membawa-bawa nama Goblin.

"Iya, Goblin. Setan pencabut nyawa itu, lho." paparnya.

Gue menaikkan sebelah alis. Sejak kapan Goblin dapat tugas buat mencabut nyawa? Nih anak udah keracunan K-Drama deh pasti. Akut. Dalam hati gue berdoa, semoga Goblin nggak bersedia mengemban tugas penting itu. Bisa kacau dunia manusia kalau sampai dia yang nyabut nyawa! Ayolah...

"Emang kamu tahu Goblin itu apa?"

"Goblin yang kayak di DraKor itu, lho."

Tuh, kan? Apa ku bilang? Pasti K-Drama.

"Kamu kebanyakan nonton Drama Korea, ih."

"Aku belum nonton, kok. Cuman tahu judulnya aja dari Reta."

"Pencabut nyawa itu bukan Goblin. Goblin itu setan kerdil penjaga Bank Penyihir yang ada di Harry Potter." terang gue.

"Bukan. Goblin itu setan pencabut nyawa."

"Setan pencabut nyawa itu nggak ada. Adanya malaikat pencabut nyawa. Dan namanya bukan Goblin, bung." gue masih dalam batas kesabaran yang stabil ngadepin tingkah konyol bin ajaibnya itu.

"Oh iya, namanya Isrofil ya?"

"Mikail."

"Izroil." suara Ibu dari dapur. "Kalo Isrofil yang niup terompet."

Kita berdua tergelak. Menertawakan kebodohan satu sama lain.

Sesat! Beneran sesat nih, gara-gara Goblin...

***

"Umar"

Akhirnya, lebaran sebentar lagi. Si adek udah ribut soal baju lebaran.

"Mbak, beliin aku kerudung baru sama baju ya." pintanya di suatu siang.

"Iya. Boleh."

"Kerudungnya jangan yang biasa. Aku pengen yang kayak dipake temenku. Kayak pasmina tapi bukan pasmina."

"Kerudungnya bentuknya gimana?"

"Segi empat."

"Oh, paris ya?" jawab gue asal. Jujur gue buta soal merk jilbab.

"Bukan." sergahnya.

"Trus apa?"

Dia diam. Mikir kayaknya. Mungkin dia lupa juga apa namanya.

"Apa ya... aku lupa." Tuh, kan?

Beberapa menit kemudian, dia inget.

"Oh iya! Merknya Umar, Mbak." katanya antusias.

Gue ngakak. Asli sakit perut. Gue emang buta masalah merk, tapi juga nggak bego-bego amat. Dan setahu gue merk Umar itu belum diproduksi.

Gue jawab dia dengan gelak tawa yang masih tersisa, "Umama, maksudmu?"

"Oh iya! Itu! Umama." kemudian ganti dia yang tergelak. Menertawai kebodohannya sendiri.

Maaf ya, Umar. Semoga lidahmu nggak kegigit, karena kita omongin...

***

Ditulis oleh: Dymar Mahafa

#OneDayOnePostBatch2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori