You are REAL - 20

(*Anak Wasiat*)

***

Kala aku berusia satu tahun, kakekku meninggal. Ayah dari ibuku. Kakek memang sudah lama sakit. Tentu saja aku tidak mengingat kejadian itu karena aku masih kecil. Namun setiap kali ayahku menceritakan ulang kejadian kala itu, aku mendengarkannya dengan seksama.

Begini kisahnya.

Ada satu hal yang kakek wasiatkan kepada anak-anaknya sebelum beliau tiada. Yaitu aku, cucu terakhirnya.

"Tolong bantu adikmu, si Marni, sampai jadi orang. Kalian semua sudah Pegawai Negeri, tinggal Marni saja yang belum. Bapak titip Dara. Tolong bantu kebutuhan Dara. Anggap seperti anakmu sendiri."

Begitu ujar kakek kepada keenam anak-anaknya. Di sana juga ada para menantunya. Marni adalah ibuku. Beliau anak terakhir atau ragil dari enam bersaudara. Di usianya yang masih belia, beliau sudah ditinggal ibunya. Nenekku meninggal ketika ibuku masih berusia 11 tahun. Dan kemudian ibu dibesarkan dan dirawat oleh saudara-saudaranya.

Beberapa tahun setelah itu, kakekku menikah lagi dengan janda beranak tujuh. Namun tidak ada hasil dari pernikahan itu. Karena memang niat keduanya hanya untuk mempererat tali silaturahmi saja. Begitu kata ayahku, mengakhiri ceritanya.

"Kamu itu anak wasiat, Ra. Cucu kesayangan kakekmu."

Selalu begitu. Ayah terus mengulang kisah itu berulang kali. Namun anehnya aku tak pernah bosan mendengarnya.

"Lihat saja apa yang akan terjadi jika Pakdhe-pakdhe dan Budhe-budhemu mengingkari wasiat kakekmu. Mereka semua pasti celaka."

Saudara-saudara ibuku tidak memperlakukan ibu dengan baik. Mereka semua punya ambisi dan keserakahan atas harta peninggalan kakek. Menantunya yang pertama, suami dari Budhe Lus, memaksa kakek untuk menandatangani surat penyerahan aset perumahan yang dimiliki kakek di luar pulau Jawa. Padahal perumahan itu rencananya akan dihibahkan kepadaku, kepada ibuku.

Dan kalian tahu apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Suami Budheku itu, meninggal.

Kuwalat.

Begitu istilah orang Jawa menyebutnya. Mengabaikan nasihat orangtua, apalagi menyalahi wasiat orangtua, sama dengan durhaka. Kuwalat. Pantas dikutuk.

Banyak sekali kutukan-kutukan yang menimpa kakak-kakak ibuku. Seperti yang baru-baru ini terjadi. Menantu Budhe Ayit meninggal, setelah kedapatan mencuri uang ayahku di rumah. Ceritanya panjang, aku malas membahasnya. Yang jelas mulai detik itu hingga sekarang, tak sudi lagi aku menyebut namanya. Aku lebih suka menyebutnya dengan sebutan 'Maling'.

Bagaimana orang itu bisa mati? Karena aku menyumpahinya. Dan doaku dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kenapa? Karena aku anak wasiat. Jangan pernah coba-coba bermain api dan cari gara-gara dengan anak wasiat. Bisa kena karma, kutukan bahkan ajal kematian.

Belum cukup kejadian itu. Budhe Ayit dan keluarganya tak pernah sekalipun berucap kata maaf dan memohon ampun pada keluarga kami, bahkan usai pemakaman 'manusia' itu. Masih baik aku menyebutnya manusia. Jika aku mau aku bisa menyebutnya dengan istilah yang lebih buruk.

Namun suatu ketika, Budhe Ayit berujar bahwa beliau akan mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh almarhum menantunya itu. Ibuku diam saja. Tak menanggapi maupun berterima kasih atas kesediaan beliau melakukan itu. Buat apa? Toh memang sudah semestinya ahli waris melakukan hal itu, bukan?

Namun apa? Nyatanya, sampai detik ini tak sepeser pun uang itu sampai ke tangan ibuku. Biarlah waktu yang akan menghukum orang-orang itu. Karma sedang menanti di depannya. Tak lama lagi. Ya, akan ku pastikan kutukan itu menimpa mereka semua. Tak lama lagi. Ya, tak akan lama lagi.

***

Kami orang Jawa, khususnya orang asli Kediri, sangat kental dengan kepercayaan dan klenik. Jadi jangan heran jika akan ada saja hal-hal yang selalu dihubung-hubungkan dengan kata tabu dan kuwalat.

Melanggar adat sama halnya dengan menyerahkan diri. Setor nyawa. Jadi jangan pernah berani-berani mengganggu ketenangan orang lain, jika tidak ingin terkena karma.

"Orang Kediri dulunya sakti-sakti, lho." kata ayahku antusias setiap kali beliau mengisahkan tentang mitos-mitos kuno serta legenda orang-orang Kediri jaman dahulu.

Seiring waktu berlalu, ajaran serta petuah ayah selalu aku ingat dan terbawa dalam kehidupan sehari-hariku hingga sekarang. Langkah apapun, keputusan perihal apapun, pertimbanganku hanya satu. Ayahku.

Begitu pun dengan calon pendamping. Pacar? Tidak, aku tidak menyukai hal-hal semacam itu. Calon suami. Diksi itu terdengar lebih baik. Enak didengar.

Dan ngomong-ngomong soal calon pendamping, sampai detik ini aku masih mencari. Ya, lebih tepatnya banyak-banyak istikharah kepada-Nya. Sosok yang sesuai dengan pengharapan dan doa orangtuaku, khususnya harapan dan doa ayahku.

Real.

Tak berani ku bayangkan lagi sosoknya dalam anganku. Angan semu yang kian hari kian menyesatkan. Karena sungguh tak mungkin aku bisa bersanding dengannya. Sekali lagi takdir mulai mempermainkanku. Dilema dalam dada kini menggerogoti sekaligus meracuni otakku. Maksud hati bertolak belakang dengan akal sehat. Logika, kemana perginya kini?

Tidak, tidak. Keteguhan diri, tak bisa semudah itu ku tukar dengan ambisi. Sekali lagi, aku berpegang pada amanat dan pesan dari ayah.

"Jangan pernah, sekali-kali jangan. Kamu menikah dengan laki-laki yang tinggal di barat sungai. Pantangan untuk kita. Karena, tumbalnya pasti salah satu dari anggota keluarga terdekat."

Dan pesan ayah beberapa bulan lalu, kembali menggema di sudut-sudut kepalaku.

"Kamu tahu sendiri kan, apa yang terjadi setelah om kamu menikah dengan tantemu yang rumahnya daerah barat sungai sana? Kakekmu meninggal."

Ayah tak melanjutkan ataupun sekedar memperjelas maksud pernyataannya di atas. Beliau tahu aku anak yang cukup pandai dan cepat menangkap pemahaman dari sesuatu hal yang beliau paparkan. Beliau selalu membiarkanku menyimpulkannya sendiri. Baiklah, tak perlu juga ku perjelas kepada kalian tentang itu. Aku yakin kalian juga cukup pandai untuk bisa memahami sebuah analogi.

Letak geografis tak merestui kami. Antara timur dan barat. Tabu jika kedua belah pihak melangsungkan pernikahan. Sungai panjang dan besar lagi dalam itu pasti meminta imbalan. Yakni, tumbal.

***

Kelu. Lidahku kaku. Tak dapat ku ucap sepatah katapun. Mati rasa. Otakku mati rasa. Kenapa, Tuhan? Kenapa? Aku sangat ingin tahu tentang apa semua ini. Tolong, jelaskan pada hambamu yang hina ini.

Kenapa Engkau terus saja mendekatkan kami? Aku dan dia.

Real.

Hari itu masih jelas terpatri dalam ingatanku. Hari Kamis siang. Mendung pekat serta hujan gerimis mengguyur bangunan tinggi nan megah, Dinas Pendidikan Kota.

Dia muncul. Secara tiba-tiba, tanpa aba-aba. Seolah mengikutiku. Menghampiri keberadaanku yang saat itu juga tengah menyelesaikan satu urusan penting di gedung ini.

"Lho? Mbak Dara... kok bisa ada di sini?"

Lihat itu. Air mukanya menunjukkan keterkejutan yang sama denganku. Betapa tidak? Baru tadi pagi kami bercengkrama dalam bisu, melontarkan basa-basi canggung yang membuat jantungku kelu. Denyut nadi bergemuruh tak tentu.

Dan sekarang?

Tuhan kembali menyeretku dalam skenarionya yang memukau nalar serta di luar kendaliku. Kenapa Tuhan? Apa yang ingin Engkau katakan lewat deret kebetulan ini? Tolong, biarkan aku mengetahui misteri apa yang akan terjadi di balik semua rangkaian kebetulan ini. Aku mohon.

Namun, Tuhan serasa enggan mendengar racauku. Dibiarkannya aku meringkuk dalam kebimbanganku sendiri. Terjebak dalam kenistaanku sendiri. Terjerat angan semu tentang rasa asing yang kian menjadi. Cinta, sekali lagi menghujamkan anak-anak panahnya padaku.

Kenapa? Kenapa cinta memilihku, kenapa? Dan bukannya orang lain saja.

Real.

Sudah cukup dengan nama itu. Rasanya jiwaku mulai terseret arus Si Cupid brengsek itu. Dan ragaku kaku, bagai mayat hidup yang berjalan linglung tanpa petunjuk.

Di saat aku bersikeras untuk menjauh, Tuhan berkehendak lain. Tuhan kian mendekatkan dia padaku. Siapa lagi?

Real.

Saat aku meyakinkan diriku bahwa aku telah menyerah pada perasaan aneh ini, Tuhan berencana lain. Real, sosoknya yang datang tiba-tiba itu, kini sedikit demi sedikit berhasil menggoyahkan keteguhanku. Keteguhan amanat orangtuaku, titah leluhurku!

Tidak! Aku tidak mau jadi manusia lemah seperti ini. Jangan! Aku tak ingin petaka menghampiri keluargaku.

Tidak! Jangan! Sudah cukup!

Pergi!

Menjauhlah dariku. Aku mohon.

***

Author: Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori