You are REAL – 19
Sesuai
janji, akan aku kisahkan kepada kalian tentang tanda jodoh nomor empat. Seperti
yang sudah aku paparkan di dua episode REAL sebelumnya, ‘kebetulan’ kali ini
akan tetap klise dan sedikit mencengangkan. Jadi, duduklah yang nyaman dan
selamat membaca.
Entah
kenapa dan ada apa dengan skenario Tuhan hari itu. Yang jelas, deretan
kebetulan serasa datang bertubi-tubi bagai hujan meteor. Istilahku terlalu berlebihan,
kurasa. Yah, maafkan.
“Bu
Dara, tadi nggak ada anak yang ke sini, ya?” tanya Real memecah keheningan di
ruangan penuh buku, perpustakaan.
Lagi-lagi
begini. Lagi-lagi keadaan serasa menyeretku dalam satu situasi seperti ini. Kenapa
aku dan dia selalu saja berakhir di tempat ini? Entahlah, satu misteri yang
belum juga ku temukan jawabannya hingga detik ini. Hanya ada aku dan Real,
berdua, di ruangan yang luas ini. Dimana lagi? Perpustakaan, tentu saja. Dengan
siapa lagi? Real, tentu saja.
“Siapa,
Pak? Anak OSIS, ya?” jawabku, masih tetap memunggunginya.
Dia
tengah mengerjakan beberapa lembar berkas. Entahlah berkas apa itu. Sungguh, aku
penasaran setengah mati!
Biar
ku perjelas sekali lagi. Hanya ada kami berdua di ruangan ini. Lagi-lagi harus
seperti itu. Entah bagaimana aku kagum dengan skenario Tuhan hari itu.
Tempat
duduk kami berseberangan. Dia, seperti biasa duduk di sudut meja lebar
perpustakaan. Sedangkan aku duduk di meja kerjaku yang berseberangan dengan
meja lebar perpustakaan. Aku dan dia menghadap ke arah duduk yang sama. Ke arah
timur. Jadi kami tidak saling berhadapan. Dan letak tempat duduk kami jika
ditarik satu garis lurus, maka akan membentuk satu garis lurus yang saling
menyambung menjadi satu. Seolah ada benang merah tak kasat mata yang
menghubungkan kami berdua. Itulah kebetulan.
“Bukan.
Yaa.. anak-anak yang biasa pinjam buku maksudnya.” jawabnya, masih sibuk dengan
lembaran berkas yang saat ini tengah dibolak-balik. Suara kertas dibalik
terdengar begitu jelas dan menggema memenuhi seluruh sudut ruangan. Saking
heningnya suasana di sini.
Nggak ada kali, Mas. Di sini adanya
saya. Ah, andai saja aku berani melontarkan candaan seperti itu padanya.
“Oh,
ada tadi. Barusan aja pulang.” kataku, masih berpura-pura sibuk dengan smartphone. Sedikit pun tak ku tolehkan
wajahku ke arahnya. Andai dia tahu kalau sebenarnya aku sedang menahan gugup
saat itu.
Dia
ber-oh.
Buat apa, ya, dia mencari siswa?
“Ini,
mau saya suruh bantuin ngerjain sesuatu. Kok sama sekali nggak ada yang lewat
ini anak-anak.” katanya setengah berbicara padaku, setengah menggumam pada
dirinya sendiri.
Deg!
Kenapa dia menjawab pertanyaan yang
baru saja terlintas di benakku? Apa dia itu cenayang?
Aku
hanya ber-oh setelahnya. Kemudian, hening. Suasana kembali sepi. Hanya sesekali
terdengar suara kertas dibolak-balik berulang kali.
Berkas apa, ya, yang sedang Real
kerjakan? Mau aku bantu? Ah, lupakan saja. Yang dia cari kan anak-anak. Bukan aku.
Ah, kenapa aku jadi aneh begini? Sepertinya mulai ada yang salah dengan isi
kepalaku. Please, Dara…
“Sebentar,
sepertinya ada anak yang lewat tadi.” kata Real seraya bergegas beranjak menuju
pintu. “Titip berkasnya sebentar ya, Bu.”
Belum
sempat aku mengiyakan, sosoknya sudah menghilang di ujung koridor perpustakaan.
***
Setelah
dia mendapat apa yang ia inginkan, dia keluar ruangan. Berkas yang tadi ia
kerjakan dengan anak-anak, entah masih belum ku ketahui berkas apa itu.
Seingatku tadi, setelah sebelumnya aku menyimak pembicaraan mereka, berkas itu
berisi kumpulan soal yang harus dijawab dengan cara dicentang, dilingkari atau
disilang, ya? Ah, apa peduliku? Aku tak ingin membuat kepalaku pening hanya
demi mengingat-ingat semua itu. Err.. sepertinya yang itu tadi angket. Yang ada
hubungannya dengan keperluan sekolah tentunya. Ah, entahlah.
Aku
sendirian. Lagi. Hanya ada aku seorang di ruangan yang cukup luas ini. Aku
mulai agak bosan. Akhirnya ku putuskan untuk pindah tempat duduk. Aku duduk di
kursi yang tadi ia duduki. Ah, andai saja tadi kami terlibat perbincangan
santai. Bisa kalian bayangkan betapa senang dan bahagianya hatiku jika hal itu
benar-benar menjadi kenyataan. Namun jika itu hanya sekedar imajinasi semuku,
maka biarkan aku terjebak sedikit lebih lama di dalamnya. Aku sudah cukup
bahagia dengan itu semua. Memang benar, bahagia itu sederhana. Dan kadang juga
kegilaan dan obsesi itu memiliki jarak setipis benang. Setipis kertas tisu.
Tiba-tiba
dari jendela perpustakaan, bisa ku lihat sosoknya berjalan kembali ke mari. Siapa
lagi? Real. Dia tidak sendiri, ada satu orang laki-laki muda kira-kira
seumurannya, mengikuti di belakangnya dengan memikul ransel hitam. Siapa, ya?
“Bu
Dara, pinjam tempatnya lagi, ya..” katanya meminta ijin seraya menyunggingkan
senyum. Gawat, voltase tinggi, nih. Tolong, aku tersengat pesonanya!
Aku
tersenyum sopan setelah mengiyakan.
Apa orang ini, ya, yang namanya
Halim?
Teman,
ah tidak, maksudku sahabat Real yang telah banyak mengajarinya perihal IT.
Halim punya posisi yang sama dengan Real dan aku. Dia masih PTT di SMP Negeri
tempatnya bekerja. Begitu cerita yang beberapa waktu lalu diceritakan oleh Bu
Lita kepadaku.
Beberapa
saat kemudian mereka berdua mulai sibuk dengan tumpukan berkas yang tadi Real
kerjakan. Aku juga sibuk sendiri dengan lembar-lembar buku di depanku. Ku
tenggelam dalam diamku menjelajahi tiap jengkal paragraf demi paragraf yang
membuat perhatianku tak mudah teralihkan, hingga aku tidak menyadari Real lewat
di sebelahku untuk menuju meja kerja petugas perpustakaan dan mencari sesuatu
di situ.
“Pak
Noto, saya pinjam gunting. Ya, ambil aja sendiri.” gumamnya. Padahal Pak Noto
sedang tidak ada di ruangan ini. Bukankah kelakuannya itu konyol? Dia bertanya
sendiri, sekaligus dia menjawabnya seorang diri.
Sedikit mirip denganku. Kadang aku juga suka begitu.
Sedikit mirip denganku. Kadang aku juga suka begitu.
Sudah
menjadi mitos bagi kami orang Jawa tulen. Bahwa jika kita ingin mengambil
sesuatu, entah untuk dipinjam ataupun dibawa kemanapun, adat orang Jawa adalah
dengan meminta ijin dengan menyebut nama si pemilik, kemudian diikuti dengan
jawaban dari mulut kita sendiri. Persis seperti orang kurang waras yang sangat
kurang kerjaan. Mungkin hal itu kedengaran aneh bagi kalian yang bukan bagian
dari kami, orang Jawa. Namun bagi kami hal itu adalah hal yang wajar. Karena jika kita
mengambil milik orang lain tanpa ‘mantra’ itu, maka tak lama kemudian akan ada
saja barang milik kita yang hilang setelahnya.
Hei, Real. Pinjam hatimu, ya.
Sebentar saja. Boleh, silahkan. Pinjamlah.
Bolehkah
aku meminta demikian? Mantra itu kini berdengung di otakku. Begitu berisik. Ah,
cukup! Hentikan!
Dasar
Real. Padahal aku ada di ruangan itu. Kenapa dia malah bicara sendiri, dan
bukannya minta ijin padaku untuk meminjam sesuatu. Bukankah dia itu aneh? Atau
dia tak mau temannya salah paham? Maksudku, Halim.
Salah
paham soal apa? Bahkan kami berdua tidak punya hubungan apa-apa. Ah, sudahlah.
Biar saja dia bertingkah sesukanya. Siapa peduli? Aku. Ya, aku peduli. Sudut
mataku tak pernah lepas sedetik pun guna memantau apapun yang ia kerjakan. CCTV
pun kalah fungsi dengan mata elangku ini. Ah, tidak, tidak, rasanya analogi itu
kurang tepat.
Ah,
terserahlah!
***
Gawat! Celaka 13!
Ponselku
tertinggal di perpustakaan. Untung masih belum terlalu jauh. Saat ini aku
tengah dalam perjalanan pulang ke rumah. Dan tiba-tiba di depan lampu merah,
aku tersentak. Aku teringat akan sesuatu yang penting yang telah aku tinggalkan
di ruang kerjaku. Aku tidak melakukannya dengan sengaja. Namun entah kenapa,
hari ini aku begitu pelupa dan kurang fokus.
Sampai
di perpustakaan, langsung ku sambar ponselku, kemudian beranjak pulang. Sekilas
dapat ku lihat di ruang parkir guru dan karyawan, motor sport hitam plat AG
milik Real masih terparkir di situ. Sejenak aku menyempatkan untuk menyunggingkan
senyum, sebelum akhirnya kembali melajukan matic
hitamku.
Dia masih belum pulang.
***
Kelu.
Lidahku kaku. Tak mampu berucap apapun. Mataku. Kedua retinanya membesar
otomatis seperti saat terkena cahaya menyilaukan. Jantungku, oh, tidak, jangan
begini, jangan lagi. Kumohon, berhentilah bergemuruh sesuka hati.
Ke-kenapa? K-kok bisa gini? Gi-gimana dia bisa tiba-tiba muncul di sini? Di
hadapanku! Siapa lagi? REAL!
Gedung
tinggi kantor Dinas Pendidikan Kota menjadi saksi sejarah antara kami berdua. Kenapa
segala hal tentangnya terasa begitu rumit? Cinta, apa yang telah kau perbuat?
Ketika
aku telah menyerah pada perasaanku, dia selalu saja muncul di hadapanku. Secara
tiba-tiba. Tanpa permisi. Mengobrak-abrik kerja jantungku. Mengobrak-abrik
relung hati yang telah sekian lama hampa lagi beku. Menghangatkan sekaligus
menyejukkan. Segala hal, segala detail, segala tentangnya, entah sejak kapan,
seakan menjadi candu hari-hariku. Sekeras apapun aku menghindar, mengelak
bahkan mengatakan aku tidak menyukainya, sekeras itu pula Tuhan kian
mendekatkanku padanya. Siapa lagi? Real. Rial Trisnoto.
Tuhan,
skenario apa lagi ini? Sungguh, ingin aku kuak tumpukan misteri ini.
Real.
Akankan
dia menjadi ‘real’ dalam kehidupan
nyataku, ataukah hanya akan selamanya menjadi ‘real’ dalam imajinasiku?
***
(bersambung…)
Author:
Dymar Mahafa
Real ...
BalasHapusDan aku tak bosan membaca ini meskipun cukup panjang ... menyenangkan 😁
Terima kasih banyak mbak Fitriana. Telah memberikan waktu mbak yg berharga untuk membaca coretan absurd ini. 😄
Hapus