A.A.D.C #18

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic?



#18



“Kamu nggak sarapan?”

Gemerincing bunyi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring menggema di ruang makan yang luas itu. Pak Wiyoto menyesap secangkir kopinya perlahan ketika seorang remaja laki-laki menuruni tangga.

“Tidak perlu.” jawab pemuda itu sambil lalu. Nadanya sedikit ketus. Ia menyampirkan tasnya di bahu, kemudian bergegas pergi sebelum bentakan ayahnya menggema.

“Ferdi! Kamu dengar Ayah tidak? Kamu lupa pesan mendiang ibumu? Kamu harus jaga kesehatan. Ingat itu!”

Ferdi menghentikan langkahnya. Namun tetap memunggungi sang ayah.

“Bukankah seharusnya anda senang jika saya mati cepat? Bukankah itu yang selama ini anda tunggu?” sindiran tajam lolos begitu saja tanpa basa-basi.

“Dan anda juga harus mengingat ini. Dari dulu, saya sama sekali tidak menganggap anda sebagai ayah saya. Jadi, berhenti menyebut diri anda sendiri sebagai ayah. Ingat itu!” pungkasnya dengan geram. Kemudian Ferdi berlalu. Meninggalkan ayahnya duduk mematung di tempatnya.

Sama seperti hari-hari yang telah berlalu, semuanya terasa hambar setelah ibunya meninggal tiga tahun yang lalu. Ferdi ingat betul kejadian itu. Serta rasa sakitnya. Rasa sakit akibat kehilangan orang yang disayangi. Rasa perih itu, semuanya, Ferdi mengingat betul bagaimana hancurnya ia kala itu. Dan ini semua bukan kesalahan siapa-siapa. Tidak bisa dibantah bahwa ini semua sudah menjadi suratan dari-Nya.

Ferdi sadar akan hal itu. Namun ia masih belum bisa menerima semuanya. Semua kenyataan pahit ini serasa tidak adil baginya. Satu-satunya anggota keluarga yang ia punya, telah pergi meninggalkannya. Sendirian. Dan tak akan pernah kembali lagi. Sosoknya hanya akan muncul dalam mimpi-mimpinya setiap malam. Namun bagi Ferdi, ibunya masih tetap hidup. Dalam kenangan. Dan akan terus terpatri kuat dan melekat di memori otaknya. Selamanya. Sampai matipun akan ia bawa kenangan itu bersamanya.

“Ferdi!” suara perempuan tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Ferdi berbalik. Ia mendapati sosok Sera berlari ke arahnya. Ferdi tersenyum muram. Hanya dia seorang yang tersisa sekarang. Begitu batinnya. Hanya tinggal Sera seorang yang masih membuat Ferdi ingin bertahan di dunia ini. Sera adalah alasan kenapa seorang Ferdi mau bertahan hidup. Selama Sera disampingnya, maka dunia Ferdi akan tetap survive.

PLAK!

Satu tamparan berhasil membuat Ferdi limbung. Apa-apaan ini? Sera menamparnya? Apa yang salah dengan gadis ini? Untung saja koridor sekolah pagi ini masih sepi. Jika tidak, maka Ferdi tidak bisa membayangkan betapa malunya dirinya ditampar di depan umum seperti tadi.

“Apa-apaan sih!” Ferdi mendelik. Ia bingung.

“Dasar pembohong!” napas Sera naik-turun menahan emosi yang meluap-luap.

“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.”

“Kenapa kamu nyembunyiin semuanya dari aku? Kamu jahat, Fer!” air mata mulai merembes mengaburkan pandangan Sera.

“Apa maksud…”

“Kita saudara kembar, kan? Iya, kan? Kenapa kamu nggak bilang sama aku dari awal? Kenapa?” Sera terisak. Suaranya tercekat. Terdengar memilukan di telinga Ferdi. Ribuan jarum serasa mengeroyok ulu hatinya tanpa ijin. Menusuk tanpa ampun.

“Jadi, kamu sudah tahu?” ujarnya tenang. Senyum getir merekah di wajahnya yang kusut. “Ya, kamu bener. Kita memang dilahirkan di rahim yang sama. Maaf, aku nggak ngasih tahu kamu dari awal. Maaf.”

“Kamu jahat, Fer. Jahat.” Sera menggumam lirih. Pukulan putus asa terus mendarat di lengan kiri Ferdi.

“Aku nggak bisa bilang itu ke kamu. Kamu pikir aku tega membiarkan kamu sakit dan bilang semua fakta itu ke kamu? Aku sayang sama kamu, Ra. Sayang! Rasa sayang sebagai kekasih, bukan rasa sayang seorang kakak ke adiknya.” Ferdi menahan tangan Sera yang terus menghujaninya dengan pukulan. Sera terisak semakin keras.

“Aku tahu rasanya. Aku juga sama Fer. Aku juga sayang sama kamu. Seperti yang kamu bilang. Tapi kalau akhirnya jadi kayak gini, kita harus cepet-cepet nyadar. Kamu harus sadar, Fer! Ini semua nggak bener. Kita nggak boleh lanjutin hubungan ini lebih jauh lagi.” tangisnya pecah.

“Memang bicara itu gampang. Tapi kamu harus tahu Ra, ini semua nggak semudah itu. Perasaanku bukan channel TV, yang bisa kamu setel dan kamu rubah sesuka kamu. Jangan samakan juga perasaanku sama status facebook, yang bisa kamu tulis dan hapus sesuka hati. Aku akan tetep begini. Aku nggak mau bohongin diri aku sendiri. Sudah cukup aku kehilangan orang yang aku sayangi. Jangan paksa aku buat menyiksa diri sendiri lagi, Ra. Please, I beg you.” Ferdi mengecup sekilas kening Sera, sebelum berlalu pergi.

Sekali lagi, hatinya hancur. Pecah berkeping-keping. Entah kali ini ia bisa mengumpulkan pecahan itu kembali atau tidak, Ferdi pasrah. Ia mulai tidak yakin dengan dirinya sendiri. Ia mulai meragukan makna dibalik istilah ‘cinta’ dan ‘kasih sayang’. Semuanya terdengar memuakkan.

Satu hal abstrak yang selama ini diagung-agungkan semua orang, terasa begitu palsu di matanya. Cinta itu absurd. Begitu pula yang terkena imbasnya. Ferdi merasa kacau. Sera telah berhasil mengobrak-abrik pertahanan hatinya yang telah lama hancur. Ini mungkin karena mereka adalah saudara kembar. Hati mereka berdetak pada ritme yang sama. Bisa merasakan kepedihan bahkan saling mengasihi satu sama lain pada saat yang bersamaan. Serta saling terhubung satu sama lain. Secara otomatis.

Seperti dua buah jarum jam yang akan selalu bergerak berdampingan. Dan pada akhirnya berhenti di tempat yang sama. Namun hanya berlangsung sementara. Karena akan selalu ada detik yang memaksa salah satunya untuk berpindah dan menyingkir perlahan, supaya keduanya bisa tetap bergerak dan terus bertahan hidup dalam perputaran yang stabil.



[ akhir dari part #18 ]



~Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic?~


Oleh : Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori