I can see you, but you can't!

Siapakah aku?
Aku bukan siapa-siapa.
Apa tujuanku kemari?
Tak semua manusia mengetahuinya. Bahkan untuk sekedar menyadari hadirku pun jarang.

Aku menemukannya. Targetku. Ya, target sasaran empuk. Ku sambar anak panah di punggungku, busurku siap membidik.

Tiga, dua, satu. Anak panahku melesat. Begitu kencang!

"Khh..." keluh seorang gadis seraya menahan sakit di sekujur ulu hatinya. Rasa yang tiba-tiba terasa saat seorang pemuda melewatinya.

Dara, ada apa denganmu? Apa yang barusan?

"Mas Real, apa sudah sampeyan kirimkan berkas yang bos minta?" tanya petugas Tata Usaha di sekolah itu kepada Real.

"Sebentar lagi, mbak." jawab Real dengan anggukan sopan.

Dara hanya memperhatikannya dalam diam seraya tetap fokus pada apa yang saat ini dikerjakannya. Seolah tak peduli pada Real dan Bu Fini yang saat ini tengah berbincang dengan Real.

"Mari, Mbak Dara." sapa Bu Fini seraya tersenyum undur diri dari ruang perpustakaan di sekolah itu. Dara membalasnya dengan keramahan serupa.

Aku bosan. Aku benci melihat mereka saling diam. Tanpa kata, tanpa sapa. Mereka seakan menolakku mentah-mentah. Keberadaanku mereka anggap angin lalu. Dasar manusia kurang peka! Biar ku beri mereka pelajaran, supaya mereka sadar. Ya, sesekali bertindak sedikit frontal, tidaklah mengapa. Asal tak melanggar tatanan alam.

"Nggak ada anak yang ke sini, Bu Dara?" Real memecah keheningan.

"Maksudnya... siapa, Pak? Anak OSIS, ya?" Dara canggung. Tak menyangka Real akan mengajaknya bicara.

"Bukan, ya maksudnya anak-anak yang biasa ke perpus." terang Real.

"Oh, ada tadi. Sempat ada yang ke sini pinjam buku, trus langsung pulang."

Hening.

Di saat begini, seharusnya ada pertanyaan balik, namun Dara enggan melakukannya. Ia terlalu malu. Entah kenapa Real selalu bisa membuatnya gugup setengah mati.

"Ini, mau saya suruh ngisi form kuisioner." ujar Real seakan menjawab rasa penasaran Dara.

Sekali lagi, Dara hanya diam. Tak ada respon apapun. Bahkan gumaman tanda setuju pun tidak.

Gadis itu! Bisa gila aku dibuatnya! Kenapa dia diam saja, kenapa? Argh! Belum pernah panahku bereaksi di luar kendaliku seperti ini. Lihat saja, kalian berdua. Kalian akan ku habisi dengan tanganku sendiri!

Real pergi setelah urusannya di perpustakaan selesai. Tanpa sepatah kata pun pada Dara. Dara juga tidak terlalu menggusarkan hal itu. Ia tetap menyelesaikan pekerjaannya hingga jam pulang tiba.

Motor Dara melaju pelan di jalan yang ramai lengang siang itu. Ia tidak suka terburu-buru saat berkendara. Melewati lampu merah kedua tak jauh dari bangunan sekolah itu, Dara tersentak. Ia baru ingat akan sesuatu. Ada barangnya yang tertinggal di kantor. Cepat-cepat ia putar balik kembali ke sekolah.

Motornya masih di sini, dia belum pulang ternyata...

Setelah mengambil apa yang ketinggalan, Dara segera meninggalkan halaman sekolah setelah sesekali melirik keberadaan motor Real.

Aku menyeringai. Ini semua adalah rencanaku. Aku buat supaya gadis manusia itu lupa bahwa telepon genggamnya masih tertinggal di ruangannya. Dan si pemuda tak peka itu ku buat sibuk sejenak dengan berkas-berkasnya. Sebentar lagi rencanaku pasti berjalan mulus. Dan dua manusia itu sudah pasti masuk perangkapku. Ya, akan ku pastikan itu!

"Mas Darma, Mbak Sila-nya ada?"

Dara kini berada di kantor Dinas Pendidikan di kota itu. Ada sedikit urusan bulanan yang harus segera ia urus. Pekerjaannya tidak hanya di sekolah saja, namun di luar itu ia adalah wanita yang sangat sibuk dengan dunia pendidikan non-formal yang telah ia lakoni selama hampir setahun terakhir. Selain sebagai staff di sekolah, Dara juga adalah seorang tutor bahasa asing di malam harinya. Siang malam ia bekerja tanpa mengeluh sedikitpun. Seringkali rasa lelah menyergapnya, namun hal itu sirna seketika saat ia berkumpul dengan anak-anak didiknya.

"Mbak Sila di ruang bawah, Mbak. Tapi sekarang masih keluar makan siang itu mbak. Baru saja. Sampeyan udah janjian?"

"Belum."

"Ya sudah, sampeyan tunggu di sini dulu aja." ujar Darma tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun pada layar laptop di hadapannya.

Ruang ICT yang ada di lantai dua Dinas Pendidikan siang itu sepi. Hanya ada Darma yang masih jaga di situ. Karena yang lainnya sedang pergi makan siang.

Tak lama berselang, seseorang mengetuk pintu. Tamu itu masuk, diikuti teman di belakangnya. Dari kejauhan Dara bisa melihat siapa yang ada di luar dari pantulan cermin di dekat pintu.

Aku melihatnya. Sudah ku duga, gadis manusia itu pasti terkejut dengan siapa yang datang. Wajahnya kaku, namun sorot matanya tak mampu berdusta. Bisa aku rasakan, hatinya saat ini sedang berbunga-bunga. Begitu pun sebaliknya. Pemuda manusia itu juga tak kalah kaget dengan kebetulan ini. Sorot mata dan wajah pemuda itu sama terkejutnya dengan gadis itu. Berhasil! Panah-panahku bekerja normal kembali. Ah, senangnya melihat mereka berdua akhirnya bisa saling menyapa. Kalian berhutang padaku, tahu tidak? Ah, sudahlah tak ada gunanya bicara dengan manusia tak peka seperti kalian.

"Lho, Mbak—" kata-kata Real terputus akibat rasa terkejutnya yang tak kunjung habis. Ia begitu senang bisa bertemu secara kebetulan dengan Dara di tempat ini. Sampai-sampai tak kuasa berucap apapun.

Dara hanya tersenyum. Canggung, gugup, wajahnya merona merah. Ia cepat-cepat menguasai dirinya supaya terlihat biasa saja, walau dalam hati ia menjerit bahagia. Dara menyalami Real sebagai tanda sopan santun. Real dengan reflek membalas uluran tangan Dara. Itu adalah kontak fisik mereka yang pertama hari ini.

Ya ampun! Tangannya halus banget! Tapi kenapa dingin? Ah, mungkin karena AC.

Sudah ku duga, pemuda manusia itu pasti kegirangan. Aku mengamati mereka dari jarak yang cukup dekat sekarang. Ritme detak jantung dua manusia ini pun sama. Karena memang sengaja aku atur demikian. Aku bisa saja mengatur apapun yang aku mau, tapi tugasku hari ini hanya sebatas ini saja. Karena perintah dari atasanku memang hanya sebatas mempertemukan mereka saja. Aku harus menjaga segala sesuatunya agar tetap stabil. Supaya keseimbangan energi alam ini bisa tetap terjaga. Dan aku tak ingin merusaknya. Karena jika aku melanggarnya, aku akan musnah. Untuk selama-lamanya. Apa kalian senang jika aku lenyap?

"Apa, Mas?" tanya Darma ramah kepada kedua tamunya.

"Ini, Mas. Berkas PMP." Hakim meletakkan berkas-berkas itu di meja, seraya menyebutkan nama-nama sekolah mana saja yang berkasnya ada di situ.

"Mbak Dara, wah, Mbak ngapain ada di sini?" canda Real seraya tersenyum lebar. Begitu senang sekali air mukanya.

"Ciee... Real..." Hakim bersiul, menggodai temannya. Namun Real diam saja. Tak merespon.

"Tutor English Massive, Mas." jawab Dara dengan ekspresi yang sama. "Ya, kan, Mas Dar?" tambahnya.

"Yoi." ujar Darma seraya tetap sibuk meneliti berkas-berkas.

"Mbak-nya ini tadi kayaknya masih di sana, kok tiba-tiba cepat sekali sudah ada di sini." celoteh Hakim lebih kepada Real. Namun gumaman itu terdengar jelas di telinga Dara.

Dara tahu Hakim. Karena tadi sebelum meninggalkan halaman sekolah ia sempat melihat Hakim yang tengah berbincang dengan Real.

Dara meneliti respon Real. Namun Real cuek, tak menanggapi apa-apa. Perkataan Hakim hanya di anggapnya angin lalu saja.

Tidak! Manusia laki-laki satu itu hanya menutupi kegembiraannya saja. Ia begitu pandai menyimpan rasa gugupnya. Sehingga wajahnya datar begitu. Aku bisa merasakannya. Pemuda itu gugup, sekaligus girang dalam hati. Gadis itu pun sama. Keduanya sangat pandai menyembunyikan ekspresi masing-masing. Ah, baru kali ini aku hanyut dalam gugup hanya dengan menonton mereka. Rasanya ikut berdebar-debar.

 "Mari, kami permisi dulu." kata Hakim undur diri. Darma hanya mengiyakan saja seraya mengantar mereka sampai luar ruangan. Dara hanya mengangguk. Namun Real masih di dalam. Sibuk membenahi isi tasnya.

"Mari, Mbak." Real undur diri. "Wah, Mbak ngapain kok ada di sini segala ini tadi." canda Real sekali lagi, yang dibalas Dara dengan tawa. Kemudian Real pergi setelah menyalami Dara.

Baiklah, sekarang aku mulai pandai ilmu hitung. Itu kontak fisik mereka yang kedua hari ini. Dasar manusia! Si pemuda manusia itu sebenarnya ingin berkata: "Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Aku seneng banget bisa ketemu kamu secara kebetulan di tempat ini. Ini takdir!"

Cih! Pandai sekali dia menutupinya dengan candaan aneh seperti itu. Aku geram melihat tingkah manusia-manusia ini. Ingin rasanya aku menjaring mereka berdua dalam jebakanku. Namun belum waktunya. Belum ada perintah, aku tak berani memutuskan.

"Mbak aku ke kantin sebentar, ya. Sampeyan di sini aja nggak apa-apa. Nanti kalau misal mau pulang, dan aku belum kembali, sampeyan tutup aja pintunya."

"Oke, Mas Dar."

Belum lama berselang, Dara bosan. Membunuh waktu dengan menunggu dan tidak melakukan apapun, rasanya nggak banget. Dia memutuskan untuk pulang saja dan menitipkannya di ruang bawah.

Sebelum Dara turun, ia kembali tertegun setelah melongok ke bawah. Motor Real masih ada. Terparkir tepat di depan ruang Sungram. Ruang yang ingin Dara tuju sebelum beranjak pulang.

Dara turun tangga. Sesekali ia melirik motor Real seraya celingukan mencari sosok pemuda itu di sekitar sana. Dan benar saja! Real tengah berdiri tak jauh dari ruang Sungram. Ia berbincang santai dengan orang-orang dinas. Entah siapa, Dara tak berani mengamati mereka terlalu lama. Ia takut ketahuan, karena tadi sekilas Real sempat melihatnya.

Segera, ia beringsut mengetuk pintu ruang Sungram. Pintu dibuka, dan kemudian Dara terlibat perbincangan dengan si pembuka pintu.

Apa yang sedang Dara bicarakan dengan pemuda itu? Ada perlu apa ya Dara ke ruangan itu? Dan itu berkas apa yang ada di tangannya? Ternyata dia cukup akrab juga dengan orang-orang sini. Yah, dia pergi. Kemana lagi? Lho, kenapa dia kembali ke atas?

Aku menunggu. Ku hitung mundur. Lima puluh, dua belas, delapan, empat, dua... satu!

"Khh..."

Berhasil! Pemuda manusia itu terkena reaksi panahku. Cukup lambat hatinya merespon memang. Namun tak masalah. Oh, ya, jangan ketawakan jika hitunganku berantakan tadi. Aku tak pandai ilmu hitung. Karena aku hanya mengenal angka dua. Yang mana nantinya angka itu akan ku ubah menjadi angka satu.

Ada apa denganku? Yang barusan tadi apa? Aneh sekali tak biasanya jantungku berdebar tak tentu seperti ini. Dan lagi kenapa tepat saat Dara pergi menjauh? 

Aku bersorak. Lihat di atas sana? Gadis manusia itu kini sedang mengamati motor pemuda manusia itu intens tak berkedip. Aku tertawa keras. Gadis manusia itu memfokuskan kameranya pada si pemuda yang kini tengah menaiki motornya. Bersiap pulang bersama teman prianya yang tadi.

Akhirnya, misi hari ini sempurna. Sukses besar. Kini hati mereka berdua sudah resmi aku ikat dengan panah tak kasat mata. Panah asmara.

Jikalau kalian masih belum tahu siapa aku setelah membaca kronologis dua manusia tadi, itu artinya kalian sama saja dengan mereka berdua. Para manusia tak peka! Itu istilah yang cukup bagus untuk manusia seperti kalian, kalau tak ingin ku sebut tuli hati lagi buta.

Aku bisa melihatmu, tapi kau tak bisa!

***

Penulis: Dymar Mahafa
#OneDayOnePostBatch2
#TantanganDesember2016
#ODOP2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori