Lentera Cinta Azzahra


Desember minggu ketiga. Seingatku hari itu Sabtu, kalau tidak salah. Hari di mana tiba-tiba sahabat karibku semasa kecil datang bertamu ke rumah.

“Wim, tolonglah. Aku memohon ke kamu. Aku mohon banget,” katanya mengiba sembari berlutut di hadapanku. Wajah Yoga tertunduk.

Aku meraih kedua pundaknya yang gempal. “Yog, bangun, jangan seperti ini,” pintaku. Ada yang aneh dengan Yoga hari itu. Tidak biasanya Yoga memohon sampai berlutut begitu.

“Wim, aku rela menyerahkan apapun, asalkan kamu mau memenuhi permintaanku barusan,” ulang Yoga. Bulir air mata yang jatuh dari mata lelahnya menambah lengkap rasa ibaku padanya.

“Yog, kenapa sih kamu menyodoriku sesuatu yang sudah pernah kamu pakai? Apa rumahku ini terlihat seperti gudang barang-barang bekas?” tegasku. Aku memang sahabat dekatnya dan sudah banyak sekali tahun yang kami lalui bersama dalam suka maupun duka. Tetapi, dia juga harus menyadari bahwa perasaan orang lain tidak bisa seenaknya ditukarkan dengan apapun yang ia punya, demi keuntungannya sendiri. Sebagai sahabat, hanya ini hal terbaik yang bisa kulakukan. Mengingatkannya.

“Aku berjanji akan memberikan apapun yang kamu minta. Kamu tahu, kan, aku bakal banyak banget merepotkanmu setelah ini, jadi kamu pantas mendapatkan salah satu dari aset pribadiku. Kamu bisa juga menggunakannya sebagai investasi jangka panjang,” terang Yoga. Bahkan setelah aku menamparnya dengan kata-kata, Yoga tetap keras kepala. Ia seperti sudah tidak punya pilihan lain selain ini.

“Oke, gini aja, aku turuti permintaanmu dengan satu syarat,” kataku pada akhirnya.

***

Sudah sepuluh tahun berlalu. Semenjak itu aku dan Yoga tak pernah lagi saling bertegur sapa. Terlebih, Cinta juga memintaku untuk memutuskan kontak dengan Yoga setelah kami resmi menikah.

Sudah jelas Cinta kecewa. Ia begitu terpukul di malam pertama pernikahan kami. Alasan mengapa Yoga menceraikan Cinta lantas Yoga memohon supaya aku yang menggantikan posisinya, belum bisa kumengerti hingga sekarang.

Belum adanya keturunan di tahun kedua pernikahan mereka, bukanlah alasan yang masuk akal untuk memutuskan bercerai. Bukankah itu masih hal yang wajar? Alasan mengapa Yoga terburu-buru menceraikan Cinta untuk kemudian menikah dengan wanita pilihan orangtuanya adalah karena Yoga ingin berbakti pada kehendak ibunya.

“Klise banget kamu. Naif,” olokku di pertemuan kami minggu lalu setelah sepuluh tahun hilang kontak. Yoga kembali menghubungiku melalui nomor perusahaan dan kami mengatur janji untuk bertemu. Ketika melihat Yoga sekali lagi,  setelah sepuluh tahun berlalu, jujur aku sangat kaget. Yoga berubah tambun sekarang. Dan lagi, rambutnya dipanjangkan. Apalagi ia sekarang memelihara janggut dan kumis. Sungguh bukan Yoga yang dulu kukenal.

“Lantas apa kamu nggak memikirkan gimana perasaan Cinta? Kenapa kamu nggak membela istrimu di hadapan ibumu? Memang dasar bebal,” umpatku lirih.

Waktu itu kami sedang berada di D’Presso; restoran milik Yoga yang telah diamanahkan padaku. Sebenarnya asetku sudah lebih dari cukup, tetapi karena Yoga begitu ingin memberikan restorannya padaku, sombong sekali rasanya jika aku menolak rezeki darinya.

Hm, bercanda. Sebenarnya bukan begitu.

Aku bersedia menikahi Cinta dengan syarat Yoga mau memberikan D’Presso padaku. Kuakui aku ini orang yang cukup materialistis. Ada harga yang harus selalu dibayar untuk pencapaian apapun di muka bumi. Kecuali jika mentalmu serupa mental sukarelawan. Jangan samakan dengan mental pebisnis sepertiku yang begitu memperhitungkan tiap detail segala sesuatu, khususnya dalam hal yang berbau nominal.

“Sebenarnya ini semua kulakukan demi pesan terakhir almarhum Papa, Wim. Maaf aku baru bisa cerita sekarang,” kata Yoga. “Papa nggak mau seluruh aset dan usaha yang sudah beliau rintis bersama Mama selama ini berpindah tangan begitu saja ke saudara-saudara Mama. Karena semua aset itu memang sejatinya milik Mama dari awal, tapi keempat saudara kandung Mama semacam nggak rela dan nggak terima jika semua itu diwariskan kepada Mama.”

“Dulu,” lanjut Yoga. Ia mengambil napas sejenak sebelum memulai kisah masa silamnya. “Om Aan; saudara paling tua di keluarga Mama, sengaja membuat perjanjian hitam di atas putih soal hak waris dari seluruh aset itu. Dan Mama dipaksa menandatangani surat perjanjian sialan itu.

Dalam surat itu dikatakan kalau sampai batas waktu tertentu belum ada keturunan yang akan menjadi calon penerus dari seluruh aset yang kami pegang itu, maka semua aset tersebut secara otomatis akan berpindah ke tangan saudara Mama yang paling tua.” Yoga mengakhiri kisahnya dengan umpatan. Kemudian berdalih bahwa menceraikan Cinta adalah satu-satunya jalan terbaik supaya seluruh aset keluarga Yoga tetap berpihak pada Yoga dan keturunannya. Tetapi bukankah Yoga bisa bersabar hingga mereka dikaruniai anak?

“Dulu hasil diagnosa dokter, rahim Cinta nggak subur,” terang Yoga.

“Ah, omong kosong. Punyamu kali, Yog, yang nggak bisa membuahi,” sindirku tajam. Aku melepas tawa setelahnya, yang disambut Yoga dengan raut muka masam. “Kamu nggak bisa menitikberatkan kesalahan ke pihak wanita aja dong, terus mengesampingkan kesalahan diri sendiri dan cari aman. Terbukti setelah Cinta menikah denganku, kami dikaruniai dua orang anak, kan? Itu artinya masalahnya bukan di Cinta, tapi di kamu. Kalian cuma kurang sabar aja. Lagipula usia pernikahan kalian dulu masih dua tahun, kan? Belum adanya keturunan itu lumrah, man,” kataku panjang lebar.

“Sementara aku nggak bisa nunggu Cinta hamil lebih lama lagi karena ada batas waktu yang harus kami penuhi di surat perjanjian bedebah itu,” kata Yoga kemudian.

“Dan karena itu kamu ngasih aku bekasmu, supaya kamu bisa menikmati sensasi bercinta dengan wanita yang baru, gitu?” sindirku. “Dan tentunya masih virgin,” imbuhku sembari berbisik.

“Bukan gitu,” sanggahnya. Raut muka Yoga jelas sekali terlihat sangat merasa bersalah. Ya memang seharusnya begitu. Yoga memang harus merasa berdosa karena telah membuang Cinta demi harta.

“Kamu memang lelaki sejati. Tahu aja sama barang bagus yang masih disegel,” kataku sembari menyemburkan gelak tawa. Yoga terlihat tak suka dengan candaanku. Aku buru-buru minta maaf. “Terus sekarang apa kabar istri barumu itu? Kok nggak diajak sekalian? Kenalin dong ke aku.”

Yoga tampak pucat. Ia meneguk espresso-nya sebelum memberikan jawaban. “Istriku …” Ada jeda dua detik. Lidah Yoga serasa berat melanjutkan. Ia menghela napas berat setelahnya. “Istriku udah meninggal, Wim.”

Seketika angin dingin Januari mendesir mencabik pusat jantungku. Aku benar-benar kaget. Pertemuan ini harusnya jadi reuni yang menyenangkan, tetapi mendung bergelayut di atas kepala Yoga. Aku bisa merasakannya.

“Aku turut berduka,” sesalku. Aku tulus ketika mengatakan itu. “Kapan …” Lidahku sudah terlalu kelu untuk melanjutkan tanya.

“Sembilan tahun yang lalu,” jawab Yoga seolah mampu membaca pikiranku.

“Lalu anakmu?” tanyaku. “Kalian sudah—”

“Anak perempuanku juga nggak tertolong. Dia meninggal seketika setelah dilahirkan,” sela Yoga tiba-tiba. Ia benar-benar pembaca pikiran yang ulung.

“Maaf, aku—”

“Nggak apa-apa. Aku tahu kamu nggak bermaksud menyinggung,” kata Yoga.

Aku menghela napas lelah. Seolah aku turut merasakan kekalutan Yoga saat itu. Tak perlu banyak kata untuk menghibur sahabatmu ketika mereka berduka selain diam dan temani saja ia. Tetaplah ada di sisinya.

“Wim, aku boleh jujur, ya?” tanya Yoga tiba-tiba.

Kusambut tanya itu dengan anggukan. “Of course, man. Just split it out.”

“Aku menyesal udah menceraikan Cinta,” akunya.

“Akhirnya,” kataku mengamini. “Akhirnya kamu sadar juga. Kamu memang harus merasa menyesal, man.” Aku menimbang-nimbang kalimat yang ingin kulontarkan sebentar lagi. “Sekarang giliranku. Aku boleh jujur, ya?”

Yoga mengangguk. “Ngomong aja,” katanya.

“Sebenarnya ...” Aku agaknya ragu ingin mengatakan ini tetapi aku pikir keputusanku saat itu sudah tepat untuk memilih mengatakan yang sebenarnya. “Sebenarnya Cinta pernah mengandung anakmu. Darah dagingmu,” kataku. Dan jelas sekali Yoga sangat terkejut begitu mendengar pengakuanku.

“Apa?” Mata Yoga masih terbelalak tak percaya. “Kapan ...” Yoga seakan kehabisan kosa kata untuk melanjutkan tanya. Lidahnya juga sudah terlalu kelu untuk berucap.

“Anak sulung kami,” terangku. “Anak sulung kami adalah anakmu yang Cinta kandung.”

Bagai disambar guntur, Yoga menganga dengan matanya yang masih menyiratkan rasa tak percaya. “Gimana bisa ...?”

“Tiga hari setelah pernikahan kami,” kataku. “Aku membawa Cinta ke klinik karena dia mengeluh sakit. Mungkin kupikir itu wajar karena terlalu lelah setelah acara resepsi, tapi ternyata dia hamil. Padahal aku sama sekali belum menyentuhnya sejak malam pertama.” Kulihat Yoga mulai menitikkan air mata ketika mendengar keteranganku. Jadi kulanjutkan saja dengan ‘gong’-nya. “Usia kandungan Cinta saat itu udah jalan dua minggu.”

Yoga kian tersedu. Ia benar-benar terpukul. “Kenapa ...” Suaranya tercekat. Aku sungguh tidak tega melihatnya begini. “Kenapa kamu nggak memberitahuku soal ini lebih awal, Wim?”

“Kamu lupa?” bantahku. “Kita udah berjanji untuk nggak lagi saling memberi kabar, kan? Setelah kamu menyerahkan Cinta dan D’Presso padaku, ketika itu keduanya udah bukan jadi urusanmu lagi. Lagipula Cinta juga memintaku untuk merahasiakan ini dari siapapun. Khususnya dari kamu, Yog.”

“Jadi ...” Yoga bergumam lirih lebih kepada dirinya sendiri. Ia menangkupkan kedua telapak tangan menutupi muka. “Jadi sebelum sidang perceraian itu, Cinta sebenarnya sudah ...” Ia tak lagi sanggup melanjutkan kata-katanya. Yoga yang malang. Kenapa kamu memilih jalan hidup yang begitu rumit?

Cinta pernah cerita kalau sebenarnya malam itu; malam di mana kamu minta dibuatkan seteko kopi hitam tanpa gula setelah kunjungan ibumu sore harinya, malam harinya, Cinta berniat memberitahumu soal kehamilannya. Tapi dia mengurungkan niat,” kataku.

Yoga menyelami mataku seolah menuntut penjelasan lain. “Kenapa ... kenapa Cinta nggak—”

“Kamu harusnya segera bisa menebak alasannya, Yog,” kataku tak sabar. “Karena dia terlalu sakit hati atas perkataan ibumu yang mengatakan soal perceraian kalian. Kamu sekarang ngerti, kan, maksudku dulu? Kamu nggak bisa seenaknya menukar perasaan orang lain dengan apapun yang kamu punya demi keuntunganmu sendiri. Dan lagi ...” Aku sengaja menggantungkan kalimatku untuk melihat air muka Yoga. Dari sorot matanya terlihat jelas sekali kalau ia begitu berharap aku segera menyelesaikan kalimatku.

“Dan lagi, kalau saja dulu kamu membela Cinta di depan ibumu, mungkin ceritanya bakal beda, Yog. Mungkin Cinta mau memberitahumu soal kehamilannya malam itu, kalau saja kamu ada di pihaknya. Bukan malah menuruti semua mau ibumu, lantas abai dengan perasaan dan harga diri istrimu sendiri,” timpalku.

Sekarang kamu udah dapat karmamu, Yog,” kataku lagi. “Karma karena udah tega membuang Cinta demi mempertahankan seluruh aset itu dan pada akhirnya kamu kehilangan semuanya. Kamu kehilangan Cinta, istri barumu meninggal, kamu juga gagal mendapat keturunan untuk memenuhi surat perjanjian berengsek itu dan pada akhirnya seluruh aset yang kamu punya berpindah tangan ke orang yang sedari awal sengaja menyesatkan kalian berdua. Kamu memang serakah, man. Serakah banget. Dan sekarang semuanya malah pergi satu per satu, meninggalkanmu sendirian seperti orang bodoh.” Aku mengumpat lirih.

Yoga menangis. “Wim,” panggilnya dengan suara mengiba. “Let me see her face once again. Please ... I’m begging you.”

***

Semalam aku mengantar Cinta menemui Yoga di D’Presso. Sebelumnya Cinta menolak permintaanku, namun aku mencoba membujuknya. Aku tahu jauh di lubuk hati, Cinta masih mencintai mantan suaminya. Cinta masih merindukan Yoga. Hari-hari yang ia habiskan bersamaku, aku tahu ia sama sekali tidak bahagia.

Untuk itulah mengapa sikapku terlihat dingin padanya selama ini. Supaya ia juga menyadari bahwa tak seharusnya dulu ia menutupi kehamilannya. Bukankah itu yang dahulu mereka inginkan? Ah, Cinta yang malang. Kenapa kamu juga memilih jalan hidup yang begitu rumit sih? Dan kenapa aku bersedia saja dilibatkan dalam rumitnya kehidupan mereka, hanya karena iming-iming materi? Memang dasar kelakuan kaum tajir, otak pebisnis.

Maaf, bercanda. Tetapi jujur, aku sungguh kasihan pada mereka berdua.

Dan sekarang Cinta demam. Entah apa yang mereka bicarakan di restoran itu hingga malam ini tiba-tiba Cinta berlari ke luar restoran sambil menghapus air matanya tanpa peduli dengan derasnya hujan. Aku berbohong padanya malam ini dengan mengatakan bahwa aku ada janji dengan klien di sekitar D’Presso. Padahal aku menungguinya tak jauh dari restoran. Firasatku tak enak. Dan benar saja.

Aku sengaja berbohong padanya karena tak ingin melihatnya berubah pikiran lagi untuk enggan menemui Yoga. Aku ingin mereka saling menyadari arti hadir masing-masing. Mereka masih saling mencintai satu sama lain. Sangat jelas sekali terlihat ketika dulu Cinta sempat nyaris bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri dengan cara tidak mau makan dan tidak tidur hingga tiga hari berturut-turut karena terus merindukan mantan suaminya. Cinta tetap merindukan Yoga bahkan setelah sepuluh tahun berlalu.

Aku begitu panik kala Cinta masuk rumah sakit. Kala itu aku sedang berada di Paris untuk mengurus beberapa bisnis dan benar-benar tidak bisa ditinggal karena otak pengusahaku tidak mengizinkan aku pulang saat kesempatan emas hampir ada dalam genggaman. Untuk mendapatkan sesuatu, kamu perlu mengorbankan sesuatu yang lain. Aku mengorbankan Cinta untuk mendapatkan kontrak bisnis baru dengan stakeholder dari Paris itu. Hidup ini memang tak akan pernah mengizinkanmu untuk mendapatkan segalanya. Ketika satu hal ingin kamu dapatkan, kamu harus rela kehilangan satu hal yang lain demi pencapaian yang kamu inginkan di awal. Segalanya datang dan pergi. Tak ada yang benar-benar tinggal, pun bertahan di tempat yang sama.

“Pa, Mama sakit, ya?” tanya Yoga yang tiba-tiba memasuki kamar kami malam ini. Anak sulung kami, Yoga Pradana. Usianya genap sepuluh tahun. Jelas sekali Cinta yang memberikan nama itu untuk anaknya. Darah daging hasil persilangannya dengan Yoga Handoko.

Aku membelai puncak kepala sulungku. “Yoga kebangun, ya? Sini tidur sama Papa. Yuk, Papa temenin di kamarmu. Biar Mama istirahat, ya.” Walau ia tidak mewarisi darahku, aku menyayanginya seperti anak sendiri.

Sebenarnya ingin kuajak serta Yoga ke D’Presso malam ini untuk menemui ayah biologisnya dan berharap Cinta mau mengatakan yang sebenarnya soal fakta bahwa Yoga Handoko ialah ayah kandung dari Yoga Pradana. Yoga Pradana berhak tahu tentang ayah biologisnya. Dan Yoga Handoko berhak tahu bagaimana anaknya tumbuh selama ini.

Namun Cinta menolak. Cinta menentang habis-habisan saranku untuk mempertemukan sulung kami dengan mantan suaminya. “Biarlah selamanya Yoga nggak mengenal siapa Yoga Handoko yang sebenarnya, Wim,” ujar Cinta bersikukuh. Ia memang wanita yang keras kepala.

***

Pagi harinya ketika aku baru saja menginjakkan kaki di kantor, Cinta menelepon. Ia menanyakan soal di mana lokasi makam almarhum istri Yoga berserta almarhum bayinya, sebab tadi pagi aku memberitahunya soal kabar itu dan seperti dugaanku, Cinta begitu kaget mendengarnya.

Aku memang lupa tidak memberitahunya minggu lalu. Aku sangat sibuk akhir-akhir ini hingga membuatku lupa akan apa yang sudah berlalu dan hanya fokus pada bisnis yang sedang terjadi saja. Aku tak ingin ambil pusing soal sesuatu yang tidak menguntungkanku secara materi.

Aku menyuruh sopir pribadi kami untuk mengantar Cinta dan Pungkas --bungsu kami-- ke lokasi makam yang dimaksud. Cukup jauh lokasinya dan harus ditempuh selama kurang lebih satu jam untuk bisa sampai ke sana. Pagi ini badan Cinta masih demam, namun ia memaksakan diri untuk pergi. Sementara aku ada rapat penting pagi ini dan jelas tidak bisa menemaninya.

Begitu rapat selesai, aku segera menghubungi istriku. “Sayang, kamu udah pulang?” tanyaku segera setelah telepon tersambung.

Cinta mengiyakan. Namun tiba-tiba ia mengatakan hal yang cukup mengejutkan, yang mana belum pernah ia ucapkan padaku sejak kami resmi menikah. “Wim, aku sayang kamu,” katanya. Suaranya begitu lirih seperti sangat kelelahan. Mungkin ini efek dari demamnya yang belum turun. “Maaf, aku baru bisa membuka hati setelah sepuluh tahun. Mulai sekarang aku nggak mau lagi merindukan mantan suamiku. Aku sayang kamu, Wim. Cukup kamu aja.”

***


Cause there's a danger in loving somebody too much. And it's sad when you know it's your heart you can't trust. There's a reason why people don't stay where they are. Cause, baby, sometimes love just ain't enough.
( Patty Smyth - Sometimes Love Just Ain't Enough )
*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain