Ketidakproduktifan

Halo.

Gue ingin sekadar mengutip kalimat yang tiba-tiba terlintas di benak gue kemarin, "Menikmati ketidakproduktifan dengan cara yang produktif."

Seminggu udah berlalu dan gue hanya menghabiskan separuh dari total libur kerja di akhir tahun ini dengan melakukan hal-hal kurang (jika tidak ingin dikatakan "sama sekali tidak") produktif.

Bangun tidur, mandi (itupun udah siang karena kebiasaan kalo libur tiba-tiba gue berubah menjadi makhluk anti-air di pagi hari), makan, nonton reality show, jelajah internet ---entah untuk sekadar buka sosmed, nyari lagu-lagu di player online atau iseng ngehabisin paket youtube unlimited, rebahan seharian, tidur siang, nontonin film-film lama koleksi laptop yang kayaknya udah waktunya minta diinstal ulang, makan lagi, dan akhirnya tidur lagi di malam harinya. Begitu terus sampai seminggu ini, walau hari Rabu sampai Jumat kemarin sempat kena piket sih di kantor. Dan itu malah semakin membuat gue menjadi lebih tidak produktif. Ketidakproduktifan gue semakin menjadi.

Liburan semester ganjil, sekolah libur dan pegawai Tata Usaha semacam gue yang mana pada hakikatnya tidak terlalu dianggap berperan penting, juga harus merasakan yang namanya jaga piket di sela-sela waktu liburan. Kenapa? Karena, err--- entahlah, mungkin karena memang hanya untuk sekadar memenuhi kewajiban semata. Melaksanakan tugas sebagaimana yang dilakukan oleh para pengabdi pemerintah yang budiman. Bukan gue nggak merasa bersyukur, karena pada intinya gue menikmati bekerja di sekolah yang mana juga sekaligus merupakan almamater gue dulu. Walau cita-cita menjadi guru Bahasa Inggris belum bisa tercapai sampai detik ini, bukan berarti gue menyerah. Gue sangat amat bersyukur bisa bekerja di tempat di mana anak-anak nusantara menuntut ilmu. At least, I can enjoy what I've been doing for the time being. Sampai giliran gue menjadi guru tiba suatu hari nanti.

Balik lagi ke produktifitas.

Ngomong-ngomong soal itu, ada satu hal yang sepintas mengganggu pikiran gue terkait ketidakproduktifan. Sebagai pustakawan (amatir), mantan tutor Bahasa Inggris dan baru-baru ini Tuhan memberi kesempatan kepada gue untuk merasakan gimana rasanya menjadi seorang penulis. The real author. Karena alhamdulillah, puji Tuhan, buku solo pertama gue telah resmi terbit akhir tahun 2018 ini.

Gue merasa sebagai seorang penulis kemarin sore, tiba-tiba aja terserang sindrom anti-produktif disorder semenjak buku pertama gue berhasil diterbirkan. Apakah itu artinya gue memutuskan menjadi malas memproduksi tulisan lagi mentang-mentang satu novel udah lahir (dan akan segera gue kirim) ke tangan pembaca?

Retoris, bukan?

Karena jawabannya jelas tidak. Gue bukan siapa-siapa dan tulisan gue bukan apa-apa. Gue hanyalah seorang penulis kemarin sore yang kebetulan numpang nerbitin karya di salah satu penerbit hasil koneksi dari campur tangan banyak pihak. Jadi apalah arti diri gue ini tanpa tangan-tangan penolong itu. Gue masih sangat hijau. Daun muda banget. Dan kalau gue sampai berani membanggakan sebutir mutiara yang berhasil gue dapatkan dengan bantuan banyak tangan, maka gue nggak lagi pantas disebut sebagai penulis. (Trus disebut apa dong?)

Kenapa? Karena tulisan itu adalah semacam oksigennya penulis. Tanpa produktifitas, tanpa tulisan, mau jadi apa si penulis di kemudian hari? Paling mentok jadi suvenir yang dipajang sampai karatan dan akhirnya tersingkir setelah dirasa merusak pemandangan.

Apa gue mau menjadi seperti itu?

Pertanyaan retoris yang lagi-lagi jawabannya udah jelas banget. Enggak la yaw.

Nah, yang ingin gue bahas pada poin kali ini adalah apa penyebab seorang penulis menjadi hilang selera dalam menulis? Sehingga si penulis tersebut tidak lagi membiasakan diri untuk mengasah kemampuannya dalam menulis, dan menjadi tidak se-produktif dulu lagi. Ini sama sekali bukan tentang WB atau Writer's Block.

Jadi, apa penyebabnya?

Pertama, terlalu banyak melontarkan deret alasan yang kurang upgrade.

Beberapa teman-teman yang mengaku sebagai penulis pemula sempat mencuri perhatian gue tatkala mereka melontarkan kalimat pembenaran mutlak seperti berikut, "Laptop aku lagi eror, udah seminggu diinfus dan masuk UGD nggak sembuh-sembuh. Jadi aku belum bisa ngelanjutin projek cerbung aku deh."

Oke, mereka melibatkan piranti elektroniknya yang mana alibinya bersih dan nggak salah apa-apa. Dan kini harus menanggung fitnah dari tuannya sendiri. Pedih nian. Coba kalo lu jadi laptopnya gimana perasaan lu?

Bukan salah kambing kalo bulunya berwarna hitam, bukan? Sama seperti bukan salah gitar atau biola yang menyebabkan para seniman alat musik dawai tidak lagi memainkan perannya di sela-sela kesibukan dunia. Dan seperti kata pepatah tiada rotan akar pun jadi, tiada laptop apapun bisa digunakan untuk menulis.

Jaman sudah modern, teknologi tumbuh pesat, jika pena dan kertas tak cukup menghadirkan solusi, ponsel pintar pun jadi. Platform online yang telah menjamur, dan maraknya sosial media yang sudah waktunya bertransformasi menjadi papan elektronik guna menuangkan ide-ide tulisan. Atau jika berkenan menulis di medan lain, seperti papan tulis, juga boleh banget lho. Penulis kondang sekalipun masih membutuhkan media-media pendukung semacam itu guna mengatasi ketidakproduktifan dalam dirinya. Karena seringkali ide tulisan berawal dari keisengan corat-coret konsep kasar di media yang tak bisa diprediksi, seperti papan tulis, kertas bekas bungkus gorengan, atau punggung putih selembar flyer iklan kredit motor pun bisa menjadi lahan ide orang-orang yang ngakunya adalah penulis.

Kedua, kepadatan rutinitas.

Tak bisa dipungkiri bahwa kesibukan memang sudah menjadi faktor pemicu utama timbulnya sindrom anti-produktif disorder tadi. Semakin seseorang memiliki waktu luang yang sedikit, maka sebesar itu pula tingkat ketidakproduktifan (dalam menulis) yang menjangkitinya. Dan secara otomatis akan berbanding lurus dengan tingkat produktifitas tulisan yang juga semakin menurun dari hari ke hari. Maksud hati ingin coba membangun aksara, namun raga tak kuasa menanggung lara. Karena menulis dengan serius di sela-sela padatnya rutinitas itu sangat sulit. Bahkan mungkin sama sekali tidak mungkin dilakukan. Iya apa iya?

Nah, oleh sebab itu menulis tidak perlu menunggu ide bagus hadir mengetuk pintu pikiran kita. Menulis cukup dengan mengembangkan keisengan yang terlintas di dalam pikiran. Gue rasa itu cukup mudah dilakukan. Seperti curhat, namun dengan bahasa yang lebih berkelas.

Ketiga, merasa insecure atau kurang aman dengan ketidaksempurnaan dalam tulisan.

Pernah mengalami?

Maksud dari insecure di sini adalah merasa nggak aman, kurang percaya diri dengan tulisan milik sendiri dan selalu membandingkannya dengan tulisan orang lain. Bahaya kalo kita udah ada di titik ini. Kenapa?

Gini deh, pensil dan bolpoin sama nggak dari segi fungsi? Udah pasti beda. Pensil dirancang khusus untuk easy to erase, sementara bolpoin sifatnya permanen. Jadi kalo misalnya lu pengen cepet bisa menghapus kenangan lu bersama mantan, dulu nulis kenangannya pake pensil aja biar mudah dihapus. (Apa sih)

Tiap-tiap penulis nggak bisa dipukul rata dalam sudut pandang keindahan tulisannya. Jadi nggak perlu berkecil hati jika tulisan diri sendiri masih sangat jauh dari kategori layak. Karena layak atau nggak layak, semua itu tergantung dari usaha masing-masing penulis bukan dari penilaian orang lain. Komentar mah cuma bumbu. Anggep aja kayak b*n cabe. Pedes level universitas memang, tapi nggak harus semuanya lu telan gitu aja. Sakit perut, kan, jadinya.

Maksud gue gini, memang saat ini tulisan kita mungkin aja masih kurang cerdas (kalo nggak mau disebut dangkal), tapi kalo kita mau terus berusaha memperbaiki dan berbenah, melatih diri untuk terus belajar dari kesalahan, maka nggak menutup kemungkinan jika nantinya tulisan itu akan mendarat pada tempat yang tepat. Tiap tulisan punya pembacanya sendiri, bukan?

Dan kalo lu udah mulai ngerasa sering rewel soal PUEBI, dan dikit-dikit ngecek KBBI, maka itu pertanda bagus. Kenapa? Karena lu udah mulai peduli dengan kenyamanan pembaca, dan peduli terhadap karya yang akan lu bagikan ke orang-orang. Seenggaknya lu mulai menaruh rasa hormat/ respect sama diri sendiri dengan berusaha tidak mempermalukan diri lu di hadapan pembaca. Itu poin plus yang memang seharusnya mesti ada dalam diri penulis. Catat, ya. Dan terapkan. Walau gue sendiri juga masih belum cukup sempurna untuk dirinya. (apaan?)

Keempat, kehilangan appetizer yang diikuti dengan pusing-pusing dan bibir pecah-pecah. (waduh?)

Bukan bibir tapi pikiran yang terpecah-pecah. Fokus kita berubah. Seperti ini contohnya, ketika suatu hari gue ngelamun sambil ngeliatin langit-langit kamar misalnya, gue nggak lagi liat paus berenang-renang pake bikini dan tiba-tiba berubah jadi manusia ikan. Maksud gue di sini adalah gambaran imajinasi untuk satu ide tulisan. Ketika gue memfokuskan pandangan ke langit-langit kamar, yang muncul justru tumpukan cucian yang belum sempat tercuci, lembar-lembar laporan kantor, sisa liburan yang kurang beberapa hari lagi tapi gue merasa gagal menikmatinya, dan pikiran-pikiran pecah yang lainnya. Sudah pecah, pecahan dari pikiran itu malah buka cabang. Sampai pada akhirnya gue capek terus-terusan mikir, hingga pada akhirnya gue putuskan buat tidur aja. Nggak jadi nulis.

Padahal sebenernya rutinitas yang kita alami dalam keseharian bisa banget lho dijadikan bahan tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Intinya kita cuma perlu jadi diri sendiri dalam menulis. Jujur sama diri sendiri, dan gairah menulis akan muncul dengan sendirinya tanpa kita minta. Caranya? Yaa terus aja menulis, apapun rintangannya.

***

Baiklah, kesimpulannya menikmati ketidakproduktifan dengan cara yang produktif bisa dilakukan dengan banyak cara. Sekalipun dalam ranah kepenulisan. Seperti gue yang memanfaatkannya dengan cara menuliskan apa-apa saja yang tiba-tiba terlintas dalam benak gue. Seperti pada tulisan kali ini. Dengan menuliskannya, gue bisa lebih memahami dan menyadari sesuatu hal dengan lebih baik. Syukur-syukur bisa dibagikan kepada banyak pasang mata. Bisa menghasilkan ketidakproduktifan yang inspiratif, bukan?

Tiap orang punya caranya sendiri. Dan cara mereka nggak salah. Yang salah adalah, berhenti jujur kepada diri sendiri (dalam menulis) hanya demi mengejar popularitas yang sifatnya cuma numpang lewat.

Mungkin yang kita butuhkan adalah break sejenak dan menenangkan diri. Tapi jangan lama-lama. Mata pisau yang lama nggak dipakai bisa tumpul. Seperti kata pepatah, long absent soon forgotten. Gimana mau diingat sebagai penulis, kalo kita memberikan terlalu banyak ruang untuk alfa dalam jangka waktu yang lumayan lama? Eksistensi mau dibawa ke mana?

Semoga coretan ini memberi manfaat. Terima kasih sekali telah menyempatkan waktu kalian yang berharga untuk membaca ulasan ini.

Sampai nanti.

***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori