Dilema Pendidikan di Jaman Now

Bicara soal pendidikan, selalu saja membuat hati saya tergerak untuk mengabadikan pemikiran yang cukup rumit ini ke dalam sebuah tulisan, yang semoga bisa memberi manfaat untuk kita semua nantinya. (Amin)

Tak bisa dipungkiri lagi jika sebagai seorang guru atau orangtua ataupun tenaga pendidik sederajat, mau tidak mau harus dihadapkan pada jaman teknologi yang mana anak-anak didik kita juga terlibat di dalam perkembangan milenial tersebut. Dan ironisnya, entah karena pengaruh teknologi/ gadget ataukah karena faktor lingkungan keluarga, teman sepermainan, atau mungkin faktor-faktor pendukung lainnya yang pada akhirnya membentuk karakter anak-anak generasi milenial menjadi bertolak belakang dan tidak seperti generasi sebelumnya.

Nah, melalui tulisan ini saya akan mencoba untuk mengupasnya bersama teman-teman sejawat. Kira-kira apa pemicu sebenarnya dari perilaku kids jaman now yang selalu saja membuat resah para pendidik dalam mendidik mereka? Simak hasil diskusi kami, ya.

Sebelum itu saya ingin sedikit berbagi.

Suatu hari saya mendengar lagi, seorang guru yang membentak muridnya yang belum mampu meraih nilai minimal dalam ujian semester ganjil. Nilainya sangat kurang dan jauh di bawah rata-rata.

Kemudian guru tersebut mengatakan kalimat klise yang pasti murid itu sudah bosan mendengarnya. Kalimat seperti, "Nilai kamu segini, mau jadi apa kamu?" Demikian hardik beliau dengan suara meninggi, barangkali mencapai tangga nada dua oktaf.

Walau memang murid tersebut terkenal "urakan" di kelasnya dan bisa jadi metode apapun yang dipakai oleh guru tersebut dalam mendidik di kelas, semuanya hanya memantul saja; masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Tapi tidak seharusnya seorang guru memberi wejangan yang demikian. Kalimat tanya "mau jadi apa kamu nanti?" dengan bumbu turunan kata bodoh, bebal, otak udang, IQ jongkok, dan yang lebih parah adalah menuduh murid memelihara otaknya di tempurung lutut.

What's wrong with the world, Mama?

Di sisi lain, sistem pendidikan kurikulum 2013 yang sedang dipakai saat ini, diakui sebagian besar guru bahwa sistem yang demikian itu justru membuat murid merasa dimanjakan. Betapa tidak jika nilai minimal yang harus dibubuhkan di buku rapor mencapai angka 80, dan sekarang mencapai angka minimal 82 untuk bisa mendapat predikat B. Sungguh gila sistem pendidikan di jaman now ini.

Tuntutan nilai yang kerap membuat guru merasa terbebani, sementara anak-anak itu tetap sibuk dengan gawai mereka masing-masing tanpa harus pusing-pusing memikirkan bagaimana hasil ujiannya nanti, jika ironisnya angka yang akan mereka terima di rapor telah secara ajaib menjelma menjadi 82, walau faktanya nilai asli mereka terjun bebas tanpa batas, dan bahkan sudah tidak bisa ditolong lagi sekalipun melalui remidi.

Miris. Sungguh pemandangan yang memprihatinkan. Gambaran sistem pendidikan abad ini. Ini hanya secuil dari lingkaran utuh sistem pendidikan nusantara. Masih banyak problema lain yang tidak kalah mencengangkan. Tapi saya tidak ingin membahas terlalu jauh dan melebar, karena beban hidup sudah cukup melebar jadi saya tidak ingin menambahnya menjadi lebih lebar lagi.😅

Sementara ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dengan adanya sistem tersebut, banyak murid yang menganggap soal-soal ulangannya sebagai sesuatu yang bisa mereka kerjakan sembari melontar lelucon.

Pernah saya coba mencuri dengar penuturan beberapa siswa yang pasti membuat anda semua tercengang, atau mungkin malah sudah terbiasa mendengar ini sehingga menganggap kalimat berikut biasa saja.

Sederet kalimat yang cukup kurang ajar tersebut berbunyi:
"Ah, santai aja ngerjakannya. Jelek, bagus, di rapor nanti juga paling-paling dapet 80 semua nilainya. Santai, woy, nggak usah serius-serius gitu mukanya."

Apakah memang seperti itu tabiat anak-anak generasi milenial? Miris batin saya.

Bukan maksud saya menyalahkan salah satu pihak atau bahkan menyalahkan sistem pendidikan Indonesia. Hanya ingin sedikit berbagi bahwa beginilah gambaran pendidikan di jaman now.

Jaman teknologi yang semuanya serba dimudahkan. Semuanya serba ada. Apa-apa serba instan. Semuanya serba cepat. Maunya sekali klik langsung bim salabim abrak-gedubrak jadi. Dan pengennya mencapai hasil yang paling baik. Semuanya pengen jadi yang nomor satu. Semua pengen jadi prioritas.

Ingin hasil maksimalis dengan usaha minimalis.

Boleh saya tertawa?
Tidak.

Mungkin di mulut, saya bisa terbahak. Tapi dalam batin menangis. Betul-betul prihatin.

Apa semengerikan ini sistem yang paling bijak yang bisa dihadirkan?

Saya hanya bisa berandai-andai. Tanpa bisa melakukan apa-apa. Bukan saya tidak peduli, hanya saja bukan ranah saya. Bukan wewenang saya. Seberapa saktinya sebuah surat kaleng yang mungkin bisa saja ditujukan kepada pemerintah mengenai hal ini? Bisa jadi nol persen dan tidak berdampak apa-apa. Walau saya juga belum membuktikannya sendiri.

Baiklah, saya yakin anda memiliki pendapat yang berbeda.
Bagaimana menurut pandangan anda?

Sebelum anda mengutarakan sepatah pemikiran, ijinkan saya memaparkan beberapa pemikiran teman-teman guru dan pakar IT dalam hasil diskusi berikut.

Saya telah mengumpulkan beberapa opini hasil diskusi pribadi saya bersama beberapa teman. Dengan menyelami jawaban-jawaban mereka yang mana memang sudah menjalani suka duka menjadi seorang guru di jaman now ini, saya akhirnya berniat untuk membagikan ide dan pemikiran mereka melalui tulisan. Tidak hanya guru, kebetulan saya juga sempat mendapat opini dari seorang teman yang ahli di bidang teknologi (IT). Penasaran gimana hasil diskusi kami?

Yuk, simak hasil diskusi berikut.

Dari gabungan beberapa pemikiran teman-teman tersebut, bisa ditarik satu kesimpulan yang cukup mencengangkan. Hasil survey membuktikan bahwa ternyata bukan gadget / teknologi yang menjadi pemicu utamanya. Lalu apa?

Saya akan ulas di postingan berikutnya.
Tunggu tulisan saya berikutnya, ya. 😊

***

Yuk, bagikan opini kalian di kolom komentar di bawah ini ya, seputar pemecahan masalah pendidikan yang telah saya paparkan di atas.

Mohon sertakan nama dan profesi.
Terima kasih banyak. 😊

Komentar

  1. Dunia berubah sejak ada internet. Semuanya jadi serba cepat. Mau nggak mau emang kita harus ikutan berlati mengejar ketertinggalan.

    Sekalinya ketinggalan, kita akan kelibas oleh teknologi itu sendiri.

    BalasHapus
  2. Guru terlalu banyak dibebani tuntutan ini itu dengan administrasi tak kalah beratnya. Coba seandainya pendidikan di Indonesia bukan hanya sekadar nilai dan harus standar segini di atas kertas, mungkin guru juga nggak akan memaksakan siswa menjadi manja. Tapi pendidikan dah terlanjur ruwet banget

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain